USAI tiga Kompasianer Terbaik 2013, mengunjungi Phuket, dan menyusullah Kompasianer Makassar ini bertandang di negeri -sedang dilanda prahara politik- Thailand. Subuh, 19 Maret 2014, penulis berjalan sendirian, jogging. Dan tercenganglah daku, mempolototi sebuah perahu, melintasi Sungai Chao Praya. Sungai yang steril dari serakan sampah itu, menakajubkanku. Sekonyong-konyong, penulis termemori dengan sungai-sungai di negeriku, Indonesia. Apakah mungkin sungai-sungai di tanah airku, yang semula menjadi ajang transportasi sampah, tersulap menjadi sebuah pelintasan warga dari dan ke suatu tujuan? Itu mimpi mayoritas masyarakat yang hidup di Indonesia dengan variatifnya kemacetan transportasi.
Dan kuakui, Thailand tumbuh pesat, gedung-gedung terbangun sangat cepatnya, terencana dengan seksama, taktis, strategis, berdiri megah-kokoh-mencakar membelah awan, dan tetap berpatok standardisasi AMDAL. Kali ini, penulis takluk lagi -setelah berpuluh kali takluk di hadapan Timnas Gajah Putih- akan kebolehan negara berbentuk kerajaan ini. Dan alangkah nyaman transportasi sungai di sini, yah di Bangkok ini sobat.
Kemudian, bersua lagi dengan Tuk Tuk, roda tiga kebanggaan Thailand, buatan sendiri, berbahan bakar gas, suara knalpot yang ringan, tak memekik telinga dan tak membisingkan lingkungan. Itulah sketas ringan soal negeri tetangga ini. Beranjak dan menggeliatlah mereka, negeri tanpa pernah terjajah dari bangsa lain ini, telah melampaui Indonesia dengan beragam infrastrukturnya, perawatan budaya dan spirit vihara.
Tabiat Tiada Beda
Dugaanku meleset, kusangkakan orang Thailand itu berbeda karakter dengan Indonesia, wah ada kemiripan dalam berbagai hal, termasuk teknik melayani tamu. Dan tamu itu adalah saya, sempat beradegan konyol, saat penulis meminta dibawakan air panas untuk menyeduh kopi, di sebuah kamar. Layanan lambat, dan room service tiba juga, mengetuk pintu kamar dengan keras-keras. Kubuka, orang Thailand itu tak ramah padaku, malah hanya satu auman yang diberikan padaku: "Huuuuuuuuuuuuum". Auman ini menandakan bahwa dia tak sepenuh hati melayani. Dan sebagai orang Bugis-Makassar, kubalas dengan auman juga: "Khaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak".
Tilikan budaya, Thailand juga tak disiplin-disiplin amat. Lantas, mengapa mereka lebih baik dalam hal 'keteraturan', dan soal sepele bak urusan buang-buang sampah? Sebab, pemerintah mereka sudah sangat siap memfasilitasi sarana pembuangan sampah, dari berbagai bahan, malah ada tong sampah yang cantik, bening, dan kita tertarik membuang sampah ke dalamnya, sebab konstruksinya elegan dan artistik.
Lalu apa yang bisa diadopsi dari Thailand? Rasa-rasanya kelewat banyak. Tarulah spirit membangun Thailand, semangat perawatan lingkungan, pelestarian budaya dan berkesenian. Belum lagi dengan fasilitas-fasilitas olahraga (sekolah olahraga, red) dan Thailand pantas mengungguli negara-negara Asian, sebab mereka memang men-design dengan matang gedung-gedung olahraga, tanpa korupsi gaya Hambalang itu.
Dikepung NGO
Negara 'maju' sekaliber Thailand (menghampiri Hong Kong dan Singapura) telah mengundang NGO di berbagai belahan dunia, Thailand benar-benar pusat masa depan, urat pereknonomian Asia Tenggara. Hingga beragam NGO hadir di sini, untuk kemudian meneliti, menabur program, menuai variasinya kehidupan sosial budaya Thailand yang bergelora itu.
NGO masih mempercayai Thailand, walau riak-riak korupsi, pun masih ada di sana. Tapi tak semarak korupsinya Indonesiaku.
***