Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Puasa Itu Slogan Semata

Diperbarui: 18 Juni 2015   08:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14040560061516802446

[caption id="attachment_345462" align="aligncenter" width="300" caption="nisasabri.wp"][/caption]

SEMASA kecil, saya paling gak suka 'diejek-ejek' oleh pengkhotbah di mimbar-mimbar masjid. Selorohnya begini rupa: "Berapa banyak umat Islam berpuasa tapi sia-sia. Hanya bisa menahan perut, tapi tak bisa jaga lidah". Ini kalimat pesimis sekali, ucapan tak memotivasi.

Faktanya, aksara pengkhotbah itu, masihlah efektif di detik-detik ini. Malu saya. Sekuat energi menahan lapar, menjinakkan rasa dahaga. Sejalan dengan itu, sekuat-kuatnya juga tak menjeda yang namanya bergunjing, mengejek-ejek capres, cawapres. Pulalah, kelakuan tetangga, kawan-kawan dan sanak family.

Bila Nanti

Penulis akan komplen, protes keras ke makhluk yang bernama Rakib dan Atid, ini suruhan Tuhan, mereka berdualah super compute utusan Tuhan. Mereka yang mencatatkan segala lakuku, ucapku, gerak-gerik lidahku, bahkanpun pergerakan hati dan motif niat-niatku. Sungguh, saya tak bisa membantahnya, bila saja kedua makhluk yang terbuat dari cahaya ini, menunjukkan 'bukti fisik' dari perilaku-perilaku selama hidup, selama shaum ramadhan, dan sebelum tidur dan terbangun lagi.

Apa daya, hasil rekaman via 'skype' dari malaikat itu, tak bisa kutepis, saya sangatlah terbukti selama di dunia, ini nightmare-ku. ini mimpi burukku yang telah terpanggang di kawah neraka. Tetapi sebetulnya, bukan neraka itu membuatku galau, kecewa dan unresponsive. Tetapi rasa malu itulah yang menderaku, manakala diperlihatkan satu per satu lembaran kelam hidupku selama di dunia fana ini, yang kerap dislogankan orang sebagai wahana persinggahan semata. Filosofis sekali ungkapan ini, sobat.

Menghitung Sebelum Dihitung

Ini sungguh, kesadaran pribadiku, tak hendak mendoseni, eh menggurui kawan, karena soal ini, sudah menggurih-gurihkan beragam artikel soal utilisasi Ramadhan, dari dekade, ke dekade lainnya. Namun, sungguh juga, kutertatantang untuk menghitung diri sendiri sebelum kelak dihitung oleh para malaikat, semoga hitunganku ini tak bias, standard error yang minim. Takutnya hitunganku, mirip-mirip dengan survey-survey wapres-cawapres soal elektabilitas. Ha ha ha

Waham dan Teori Empat Kotak

Nyaris saja saya memuncratkan kata-kata bahwa memperluas ladang dengan mengais aib sesama adalah sebuah penyakit hati, relevan dengan bahasan-bahasan di dunia akademik, khusunya Mental Health.  Barangkali saya kelewat kaku mengapresiasi ajaran Islam yang didistribusi nilai-nilai moralnya oleh Sang Lokomotif, Nabi Muhammad SAW. Hingga kadang saya tak fleksibel memaknai marka-marka yang diajarkan oleh beliau via rimbunnya hadits-hadits yang dirawikan oleh kawan-kawan dekatnya, kala itu.

Setelah Kompasianer ini bergelut dengan dunia kesehatan masyarakat, zona biomedikal dan kedokteran pencegahan, saya kok meyakini bahwa penyakit jasmani ini, dipicu oleh kesakitan mental, penyakit hati, leluasanya lidah mengucapkan kata-kata anti kemanusiaan. Duh, maksudnya apa nih? Maksudnya, lidah ini kok asyik-asyik saja mengartikulasi keburukan-keburukan orang lain ketimbang sibuk merabai diri sendiri akan kekurangan diri, di sana, sini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline