Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Armand

TERVERIFIKASI

Universitas Sultan Hasanuddin

Jangan Percaya Kurikulum

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14195542231583435252

[caption id="attachment_386041" align="aligncenter" width="300" caption="www.psychologymania.com"][/caption]

Untuk para orangtua murid, jangan kelewat memercayakan anak-anak kita kepada kurikulum buatan pemerintah, jangan bebani pemerintah, jangan pula bebani guru-guru. Mereka hanyalah menjalankan tupoksi sesuai aturan-aturan yang digariskan pada mereka. Mereka itu tak memahami anak-anak kita, kitalah sebagai orangtua yang jauh lebih paham siapa anak-anak kita, karena kitalah yang melahirkan anak-anak itu.

Kasihan para guru jika mereka diharapkan lebih dari apa yang kita inginkan, mereka juga punya anak-anak, punya masalah, punya aktifitas, punya kehidupan.

Jangan titip anak-anak kita secara bulat-bulat. Karena kalau ada apa-apa dengan anak-anak kita, toh orang yang pertama ditanya adalah kita sebagai orangtuanya. Kenapa kita tak mencoba melihat sendiri perkembangan anak-anak kita, kenapa tak mencoba jadi guru untuk anak-anak kita di rumah. Apa hal baru bila saya tawarkan agar banyak interaksilah dengan anak-anak di rumah, menyelami tingkahnya seteliti mungkin. Bila mereka suka coret-coret dinding, emang kenapakah? Bukankah itu perlambang bahwa setiap tamu yang datang diberi simbol bahwa di rumah ini ada anak-anak.

Mendefenisikan Kembali Perhatian

Bukankah suatu kemajuan bila kata perhatian itu tak sebatas antar-jemput anak-anak dari dan ke sekolah? Karena soal antar-jemput anak-anak itu sudah perilaku umum, tiada yang istimewa. Tetapi bertanya kepada anak: "Kamu sehat Nak? Apa ndak ada keluhan di kepala, perut atau tenggorokan?". Ataukah bertanya: "Kamu tidak ada masalah di sekolah Nak?". Rasa-rasanya pertanyaan ini yang kerap penulis lontarkan kepada anak-anakku ini, memiliki daya gedor perhatian yang lebih. Betapa kita mencoba menanamkan sebuah edukasi bahwa kesehatan fisik dan jiwa itu, penting sekali.

Menjadi orangtua itu tak sulit, pun tak mudah. Yang dibutuhkan bukan hanya kepintaran mendidik anak tapi butuh seni mendidik, ada ritme yang wajib diselenggarakan di sana. Sentuhan-sentuhan psikologik bagaimanapun ringannya, amatlah bernilai buat anak-anak. Anak-anak itu hanya butuh kebersamaan, apapun adanya.

Kita ini orangtua susah dan suka mengeluh karena pengen melihat hasil seketika, pengen bypass, sedang pertumbuhan mental itu adalah sangat lambat. Kita mestinya bersyukur karena laju pertumbuhan itu alamiah. Di sinilah kita masuki mereka.

Persoalan anak-anak kita itu hanya ada tiga: Soal belajar, soal kenakalan dan soal susah diatur. Dibolak-balik bagaimanapun, ini soal abadi anak-anak.

Perkara susah diatur, itu memang karakter asli anak-anak. Tidak ada yang salah! Malah penulis heran bila ada anak gampang banget diatur, asal nrimo. Fase anak-anak memang fase egositas, fase penolakan. Dan, kurang edukatifnya bila penolakan itu kita ubah dengan menjanjikan belikan ini, belikan itu. Ini cikal bakal lahirnya mental anak-anak yang belajar disogok.

Kenapa fase-fase penolakan itu tidak dikuatkan, disalurkan keinginan hati dan pikiran anak-anak itukah? Karena menghambatnya malah makin menguatkan penolakan itu, itu adalah bom waktu yang terendap di alam bawah sadarnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline