Staf Khusus, dan juga juru bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, menyatakan bahwa meskipun pandemi COVID-19 belum berakhir di Indonesia, Presiden Jokowi meemastikan tidak ada larangan resmi bagi masyarakat untuk mudik saat Hari Raya Iedul Fitri 2020. Sehingga hal itu tak pelak lagi mengundang beragam komentar publik.
Selain dianggap sebagai suatu sikap kontroversi pemerintah, pernyataan itu pun dianggap sebagai suatu sinyal jika di dalam tubuh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf tidak ada kekompakan. Bahkan terkesan ada musuh dalam selimut yang berniat akan menjatuhkan kredibilitas Presiden Jokowi oleh orang dalam sendiri.
Terlepas dari pernyataan Fadjroel Rachman tersebut sudah direvisi Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, bahwa pemerintah mengajak dan berupaya keras agar tidak perlu mudik, akan tetapi hal itupun sepertinya masih belum tepat apabila memang benar pemerintah bersugguh-sungguh ingin agar pandemi virus corona ini segera berakhir.
Betapa tidak, di satu sisi pemerintah menghimbau masyarakat untuk melakukan social distancing dan physical distancing, yakni menjaga jarak aman antara satu orang dengan yang lainnya agar terhindar dari penularan virus corona. Sementara di sisi lain, dengan memberikan kelonggaran untuk mudik kepada masyarakat urban dari kota ke desa, terlebih lagi apabila kota asalnya sudah berada di zona merah seperti Jakarta, meskipun pemerintah menganjurkan untuk melakukan karantina kepada mereka (para pemudik) selama 14 hari setibanya di kampung halaman, sepertinya merupakan sesuatu yang keliru, dan sebagai sikap blunder pemerintah dalam menghentikan laju pandemi COVID-19 agar lebih cepat lagi.
Malah besar kemungkinan niat pemerintah untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala Besar (PSBB) pun justru akan ambyar berantakan, dan korban yang terjangkit pun akan semakin bertambah lagi. Sebab selain disiplin masyarakat pada umumnya masih diragukan, juga sebagaimana tradisi yang biasa terjadi selama ini apabila seorang kerabat keluarganya yang sudah lama berjauhan, maka dalam perjumpaan pendatang dari kota dengan keluarga yang tinggal dikampung bisa saja akan terjadi kontak fisik yang dilakukan tanpa disadari lagi lantaran rasa rindu, atawa hormat yang lebih besar sehingga upaya pencegahan menularnya virus corona pun terabaikan.
Salah satu bukti yang sudah terjadi adalah kasus pasien pertama positif virus corona di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pria yang berusia 72 tahun itu dinyatakan positif corona setelah menjalani test swab. Sebelumnya pasien tersebut menderita stroke, dan seminggu lalu dijenguk oleh anaknya yang datang dari daerah zona merah penyebaran pandemi COVID-19, yakni kota Jakarta.
Oleh karena itu kata-kata yang diutarakan Pratikno yang hanya sekedar berupa ajakan kepada masyarakat untuk tidak mudik, apalagi sebelumnya dengan yang disampaikan Fadjroel Rachman yang bertolak belakang, akan lebih baik lagi untuk segera direvisi dengan suatu bentuk larangan tegas agar masyarakat urban di perkotaan dalam menyambut Hari Raya Iedul Fitri 2020 ini tidak melakukan mudik ke kampung halamannya.
Sebagaimana kekhawatiran yang dirasakan warga desa yang sampai sekarang ini masih berada di zona hijau, dengan kehadiran kerabatnya dari wilayah zona merah, malah justru akan menambah banyak masalah. Selain dampak ekonomi yang sudah mulai dirasakan, tidak menutup kemungkinan penularan pandemi COVID-19 akan banyak terjadi. Sehingga wilayah pelosok desa pun akan merubah menjadi zona merah tersebarnya virus corona yang kian merajalela.
Maka tidak ada pilihan lain lagi memang. Ketegasan dalam pemberlakuan PSBB diharapkan diterapkan tanpa kompromi lagi. Begitu juga dalam memberi pernyataan, semoga juru bicara Presiden maupun jajaran menteri jangan menimbulkan keraguan bagi masyarakat. Paling tidak kekompakan adalah mutlak dilakukan semua pihak apabila memang berniat untuk bekerja demi rakyat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H