Keluhan warga perantau yag terdampak musibah gempa dan tsunami di Palu, mulai berseliweran di media sosial. Pada dasarnya mereka merasa dianak-tirikan oleh pemerintah daerah setempat dalam pembagian bantuan.
Padahal di kota Palu saja misalnya, ditaksir hampir lima persen dari jumlah penduduknya merupakan perantau asal Jawa Barat. Baik yang menetap dan sudah mendapat KTP Sulteng, maupun mereka yang tinggal hanya untuk sementara saja. Terutama para perantau yang mengadu nasib sebagai buruh maupun pedagang.
Di saat terjadinya musibah bencana gempa dan tsunami, Jum'at (28/9/2018) tempo hari, tidak sedikit para perantau yang juga ikut menjadi korban. Sementara mereka yang selamat, dan masih bertahan di Palu, terutama karena alasan belum memiliki biaya transportasi untuk kembali ke daerah asalnya, merasakan sikap pemerintah daerah Sulteng di dalam pelayanan mengurus kebutuhan yang terdampak bencana, begitu tampak jelas adanya perbedaan antara warga asli dengan warga pendatang.
Untuk mendapatkan pelayanan bantuan yang sangat mereka butuhkan saat ini saja, terutama bantuan sembilan bahan pokok, begitu tampak jelas (keluh mereka!) sikap diskriminatif pihak pemerintah daerah Sulawesi tengah itu. Selain harus memperlihatkan surat-surat identitas pribadi, seperti halnya KTP dan kartu keluarga, prioritas pun lebih diutamakan bagi warga setempat. Sedangkan bagi korban yang berstatus perantau musiman terkesan tidak diperdulikan.
Apabila keluhan para warga perantau tersebut merupakan fakta yang sebenarnya, maka dalam hal ini pemerintah daerah Sulawesi tengah jelas-jelas telah melanggar hak asasi manusia, juga Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia.
Padahal sudah seharusnya pihak pemerintah daerah Sulawesi tengah mengayomi siapa pun, yang ada di daerahnya , dan menjadi korban musibah bencana tanpa membeda-bedakan status maupun asalnya.
Bahkan seharusnya pihak pemerintah daerah berfikir dua kali. Seandainya saja di suatu daerah di luar Sulawesi tengah terjadi musibah bencana sebagaimana yang baru saja terjadi di wilayahnya, dan di daerah yang terkena bencana tersebut kebetulan ada warga Sulawesi tengah yang menjadi korban, sementara sikap pemerintah daerah itu juga sama sikapnya dengan yang terjadi di Sulawesi tengah, maka bagaimanakah sikap pemerintah Sulawesi tengah menghadapinya?
Bisa jadi masalah nurani dan kemanusiaan juga yang dikedepankan, tentu saja.
Selain itu, para perantau yang datang di Sulawesi tengah pun bukan untuk menjadi benalu yang membebani pemerintah daerah setempat. Paling tidak mereka pun telah memiliki andil untuk turut serta membangkitkan geliat ekonomi di tempat mereka merantau, meskipun dalam skala kecil juga.
Sebagai salah seorang yang bersimpati terhadap peristiwa musibah di Sulawesi tengah, yakni di Palu, Sigi, dan Donggala, mendengar keluhan tersebut hati penulis tersentuh juga. Akan tetapi berhubung informasi tersebut baru didengar dari satu fihak saja, saya sendiri tidak berniat untuk bersikap underestimate terhadap kinerja pemerintah daerah Sulawesi tengah, bahkan sama sekali bukan maksud hati menjustifikasi.
Paling tidak dengan keluhan tersebut, saya sekedar mengingatkan. Bahwa hal-hal seperti yang dikeluhkan para perantau perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat. Begitu pula pemerintahan Jokowi-JK sudah seharusnya mengakomodasi hal-hal semacam ini, dan menjadi catatan yang patut diperhatikan. Karena perantau luar daerah pun sama-sama warga negara Indonesia. ***