30 September 1965 di Jakarta telah terjadi penculikan dan pembunuhan enam orang perwira tinggi, dan satu perwira pertama TNI AD oleh pasukan di bawah komandan Kolonel Untung. Dan kabar itu disampaikan oleh Ayah setelah mendengar berita lewat radio.
Saya yang ketika itu berusia enam tahun, menggigil ketakutan menguping pembicaraan Ayah di depan aparat Desa dan beberapa anggota Hansip yang diundang Ayah ke rumah kami. Ketika itu Ayah saya masih menjadi Kepala Desa di desa kami.
Setelah pertemuan itu Ayah bersama seluruh tamu pergi. Kata ayah saat pamitan kepada Ibu, bersama seluruh tamunya akan keliling Desa. Tak lupa Ayah pun meminta kepada saya agar tidak main terlalu jauh dari rumah.
Meskipun di desa kami tidak ada anggota PKI, namun warga tampaknya selalu bersikap waspada. Ronda malam selalu berjaga bersama anggota Hansip. Ayah pun hampir setiap malam keluar rumah.
Selang beberapa bulan kemudian, ketika saya diajak Ibu ke pasar di kota kecamatan, saya menyaksikan beberapa rumah dibakar massa. Kata Ibu, rumah tersebut adalah milik anggota PKI. Di tembok toko banyak tulisan besar-besar yang berbunyi "Ganyang PKI" yang ditulis memakai cat warna merah.
Selanjutnya saya seringkali menyaksikan rombongan pemuda dan anak-anak yang usianya belasan tahun, berbaris sambil berteriak-teriak, dan mengacung-acungkan famflet. Mereka menamakan dirinya KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia).
Mereka datang ke setiap desa. Termasuk juga ke desa kami. Selain bernyanyi, berteriak-teriak massa pemuda dan pelajar itu pun memasuki setiap rumah warga. Kalau kebetulan di rumah tersebut ada foto Presiden Sukarno, tanpa meminta ijin lagi kepada pemiliknya, gambar itu diambil oleh mereka. Kemudian kalau tidak disobek-sobek, sekalian dibakar oleh mereka.
Hal itu kadangkala menimbulkan ketegangan juga. Manakala pemilik foto itu menolak foto Presiden Sukarno yang terpampang di dinding rumahnya untuk diambil mereka, maka para pemuda itu pun menuding pemilik rumah sebagai antek Sukarno. Bahkan ada juga yang menyebut sebagai antek PKI.
Sebagai bocah yang baru masuk sekolah dasar, kegitan aksi para pemuda dan pelajar tersebut seringkali ditiru oleh kami manakala sedang bermain dengan sesama teman sebaya. Tetapi kalau Ayah mengetahuinya, Ayah selalu melarang kami melakukan hal itu.
Baru ketika di tahun 1967 saat saya sudah mulai bisa membaca dengan lancar, saya melihat di rumah begitu banyak buku-buku yang diterbitkan Pusat Penerangan Angkatan Bersejata Republik Indonesia dan Pusat Penerangan TNI AD. Dan selalu dibaca oleh Ayah.
Saya pun ikut-ikutan juga membacanya. Semua isi buku-buku itu isinya hampir sama. Tentang tragedi Lubang buaya, tentang penculikan para Jenderal TNI AD, juga bahaya laten Partai komunis Indonesia, serta kisah penangkapan para pemimpin PKI. Termasuk DN Aidit, tentu saja, sebagai pucuk pimpinan (Dalam buku disebut sebagai Ketua ComiteCentral) PKI.