Menjelang waktu Subuh, lampu mati. Kumandang shalawat lewat pengeras suara dari masjid di sekitar pun langsung terhenti seketika. Aku yang tengah bersiap untuk berangkat ke mushola, pun mendadak ragu-ragu. Apa sebaiknya menunaikan shalat di rumah saja? Karena sepertinya bakal tak ada seorang pun jamaah yang ada di sana dalam keadaan gelap seperti ini. Termasuk dua ustadz yang biasa jadi imam shalat. Jangankan karena sedang gelap begini, dalam keadaan biasa pun -- maksudnya saat lampu menyala, selalu saja membuat jamaah harus menunggu lama kedatangan salah seorang di antara mereka untuk memimpin kami dalam shalat.
Akan tetapi pilihan untuk shalat di rumah serta-merta sirna seketika manakala aku teringat pada masa lalu, dimana suasana kampung kami belum mendapat aliran listrik.
Alat penerangan di masjid tempat kami belajar mengaji cukup menggunakan lampu teplok minyak tanah saja. Sementara untuk menerangi kegelapan di perjalanan, aku dibekali lampu senter oleh ibuku. Sehingga sekarang pun kenapa tidak menggunakan lampu senter saja untuk menerangi perjalananku ke mushola.
Lagi pula aku yakin, meskipun jamaah yang datang akan banyak berkurang, setidaknya Abah Wihanda yang selalu setia menjadi muadzin pasti sudah datang. Sebab orang tua yang satu ini merupakan salah seorang jamaah di mushola kami yang tak pernah absen dalam keadaan gelap seperti sekarang ini sekalipun. Kecuali bila kebetulan sedang menderita sakit.
Hanya selama ini kalaupun hanya menderita batuk dan flu saja rasanya Abah Wihanda tetap sebagai orang yang pertama berada di mushola. Terlebih lagi bukankah bagi kaum lelaki shalat berjamaah di masjid hukumnya wajib, kecuali kalau sedang berhalangan. Karena menderita sakit misalnya. Pahalanya pun menurut ajengan sampai dua puluh tujuh derajat. Sementara shalat di rumah hanya satu derajat saja. Itu pun kalau shalatnya khusyuk,
Oleh karena itu, segera saja kuputuskan untuk segera berangkat ke mushola. Apalagi jam di hapeku sudah menunjukkan tibanya waktu shalat Subuh. Dengan berbekal lampu senter, dan tongkat bambu kecil, kususuri gang yang menuju arah mushola.
Ada pun tongkat bambu itu merupakan kakiku yang ketiga, sebagai penyangga tubuh selama ini karena kedua kakiku setiap bangun dari tidur selalu merasakan nyeri, linu, dan pegal-pegal. Sehingga tak mampu menahan beban tubuhku untuk bisa berjalan seperti biasanya. Sudah tiga bulan ini aku berkutat dengan asam urat.
Sambil menyusuri gang yang lengang dan gelap, ingatanku kembali melayang pada masa belajar mengaji sewaktu masih anak-anak. Beberapa anak yang sudah agak besar dariku, kebanyakan anak perempuan, dari luar rumah memanggil-manggil namaku yang masih berselimut untuk pergi bersama-sama belajar mengaji di mushola.
Biasanya ibuku yang sudah terjaga akan segera membangunkanku. Lalu menyuruhku pergi ke pancuran di belakang dapur. Untuk mengambil wudlu. Dengan masih merasa mengantuk, aku memaksakan diri untuk menunaikan semua perintah ibu. Bagaimana pun kalau tidak, aku akan mendengar omelan berkepanjangan yang diahiri dengan ancaman tidak akan memberikan uang jajan di saat besok hari berangkat ke sekolah.
Teman-temanku yang menunggu di depan pintu halaman, selain memeluk al Quran, tampak di antaranya ada yang memegang obor dengan apinya yang menjilat-jilat ditiup angin sebagai alat penerangan. Ada juga kulihat salah satu di antara mereka yang membawa sebotol minyak tanah.
Bisa jadi saat ini merupakan gilirannya sebagai bentuk sumbangan rutin pada guru ngaji kami untuk bahan bakar lampu teplok penerangan saat kami mengaji.