Lihat ke Halaman Asli

Abahna Gibran

Penulis dan Pembaca

Antara Warga, Penguasa, dan Pengusaha

Diperbarui: 6 Februari 2018   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (dimensi.news.com)

Mang Jaka terhenyak mendengar penjelasan Camat yang berpegang pada hasil musyawarah dan mufakat. Sementara surat kuasa yang yang tadi disodorkannya, dan kemudian sekilas dibaca Camat, sama sekali tidak diperhatikannya lagi. Malahan Camat dengan sambil nyerocos menjelaskan susana musyawarah, menyerahkan kembali surat kuasa itu ke tangan Mang Jaka.

"Mengapa waktu musyawarah Mang Jaka tidak ada?" tanya Camat kemudian.

"Karena jangankan mendapat undangan, pemberitahuan pun sama sekali tidak ada, Pak. Malahan pada hari itu, sekitar pukul 11 saya menemui Kepala Desa, dan menanyakan kapan akan diselenggarakannya musyawarah itu. Lalu Kepala Desa saat itu mengatakan entahlah, karena Pak Camatnya juga kelihatannya sedang sibuk. Begitu," sahut Mang Jaka seraya mengedarkan pandangannya kepada orang yang ikut mendengarkan pembicaraannya.

Kemudian Camat kembali mengulang penjelasan suasana sekitar musyawarah yang digelar seminggu lalu di kampung Mang Jaka. Pada dasarnya semua hadirin menyetujui pembangunan tower BTS di sekitar pemukiman yang terletak di RT 003 RW 003 itu. Bahkan Camat juga mengatakan masalah tanda tangan yang dilakukan oleh anak di bawah umur untuk mewakili kakaknya sebagai pemilik rumah yang berdekatan dengan lokasi pembangunan tower BTS itu sudah beres. Karena kemudian pada musyawarah itu ditandatangani oleh ibunya, yaitu ibu anak di bawah umur itu, dan mertua dari pemilik rumah tersebut.

Padahal jauh hari, ketika pemilik rumah itu pulang mudik dari Jakarta, tempat selama ini ia bersama istrinya mencari nafkah, pernah mendatangi Mang Jaka. Pemilik rumah itu meminta bantuan kepada Mang jaka untuk mewakili dirinya dalam menyelesaikan permasalahan rencana pembangunan tower BTS di samping rumahnya. Adapun alasan Nono, pemilik rumah itu, selain dirinya dan istrinya jarang ada di rumah, juga merasa kecewa terhadap orang yang meminta tanda tangannya dengan memerintahkan adik iparnya yang di bawah umur untuk menandatanganinya. Menurutnya hal itu merupakan suatu pelanggaran hukum. dan perlu untuk diluruskan.

Mendengar permintaan Nono, Mang Jaka menyanggupinya. Tapi Nono harus membuat surat kuasa. Melimpahkan kewenangannya sebagai pemilik rumah kepada Mang Jaka. Tentu saja surat kuasa itu pun harus bermeterai, dan harus ada saksi yang ikut menandatanganinya. Saat itupun surat kuasa dibuat Nono bersama Mang Jaka dengan saksi satu orang tetangganya, dan disaksikan oleh kepala dusun yang juga ikut menandatangani suarat kuasa itu.

Hanya saja setelah menghadap Camat, Mang Jaka kemudian dibuat terhenyak. Camat bersikukuh terhadp hasil musyawarah itu. Sementara suarat kuasa sama sekali diabaikannya. Dalam hati Mang Jaka kemudian muncul beragam pikiran.

Jangan-jangan Camat memang telah berkolusi dengan Kepala Desa, juga dengan pihak pelaksana pembangunan tower BTS itu. Kemungkinan amplop tebal telah membuat mata Camat kelilipan, dan lupa dengan tugas dan kewajibannya sebagai pengayom dan pelayan masyarakat di wilayahnya.

Bisa jadi hal itu terjadi sebagai ekses dari berkelindannya jual-beli jabatan juga. Sebagaimana yang belakangan ini sering didengar Mang Jaka. Bukankah untuk mendapat jabatan di pemerintahan daerah, misalnya untuk menjadi kepala dinas, sampai Camat saja harus mengeluarkan uang yang lumayan besar. Sehingga apabila sudah diangkat, yang bersangkutan pun akan berusaha untuk dapat mengembalikan modal yang dinvestasikannya kepada Bupati.

Buktinya Camat yang saat ini dihadapinya pun sikapnya sama sekali tidak menghargai haknya sebagai warga yang telah memegang surat kuasa. Padahal surat kuasa itu diberi meterai sebagai bukti kesahihannya, dan mendapat kekuatan hukum yang berlaku. Camat cenderung mempertahankan argumentasinya yang sebetulnya masih bisa dipatahkannya.

Apalah artinya musyawarah itu kalau cenderung diarahkan untuk menyetujui kehendak Camat sendiri. Bahkan lucunya, keabsahan tanda tangan seorang ibu mertua dengan tanda tangan pemilik rumah yang sah, atau oleh orang yang mendapat surat kuasa, sama sekali tidak diperhatikannya. Padahal hal itu menyangkut masalah hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline