Bagi kebanyakan orang -- termasuk penulis sendiri, bisa jadi saat menyadari betapa besarnya peran seorang Ibu di dalam keluarga, ketika Ibu kita telah tiada lagi. Pergi untuk selamanya, meninggalkan keluarga yang dikasihinya, dari dunia yang fana ini.
Tidak menutup kemungkinan juga, setelah Ibu tiada lagi bersama kita, tentunya perasaan sedih yang teramat dalam selalu saja menghampiri tanpa terasa lagi. Seringkali juga muncul penyesalan yang tiada tara, manakala terkenang akan sikap dan perlakuan kita terhadap Ibu semasa bersamanya, betapa seringnya kita membuat Ibu kecewa, marah, dan meneteskan airmata.
Suatu saat, ketika Ibu sedang sibuk di dapur, mempersiapkan masakan untuk makan seluruh keluarga, sementara kita sendiri asyik bermain bersama teman-teman, dengan tergesa Ibu menghampiri kita. Lalu meminta untuk dibelikan sesuatu keperluan dapur yang mungkin sudah habis persediaannya. Saat itu, karena merasa tanggung, atau terlalu asyik dengan permainan yang sedang dilakukan, seketika kita pun menolak permintaan Ibu. Maka dengan wajah penuh kekecewaan, dan sambil ngomel-ngomel sebagaimana biasanya seorang perempuan, Ibu pun kembali ke dapur, atau mungkin juga pergi sendiri ke warung.
Saat itu kita tentu tidak sadar dengan kekecewaan Ibu atas penolakan kita terahadap permintaannya itu. Bahkan bisa jadi malah tidak pernah memperdulikannya lagi. Padahal permintaan Ibu itu untuk kebutuhan kita juga, anaknya, dan seluruh keluarga.
Demikian juga halnya ketika kita menginjak masa remaja. Selalu saja Ibu dianggap rewel bin bawel manakala setiap kita pamit untuk pergi keluar rumah, Ibu selalu mengingatkan kita untuk bersikap hati-hati, dan waspada. Memang ketika itu mungkin kita akan menganggukkan kepala, tapi bisa jadi dalam hati kita muncul perasaan jengkel juga karenanya.
Apalagi kalau Ibu tidak memberi uang sangu, entah karena lupa, atau memang sedang tidak punya, maka kejengkelan kita pun akan semakin menjadi-jadi. Perjalanan yang semula dibayangkan akan menyenangkan pun berubah penuh kemarahan yang dibumbui sumpah-serapah tidak karuan.
Belum lagi saat sedang di rumah, Ibu selalu saja mengingatkan kita untuk rajin belajar. Padahal saat itu kita baru saja menghidupkan layar televisi misalnya. Rencananya hendak menonton sinetron yang disebut teman-teman cukup bagus juga ceritanya. Apa boleh buat. Televisi pun dimatikan lagi. Sambil ngedumel tidak jelas, kita pun kembali ke kamar.
Tapi bukannya untuk belajar, atau mengerjakan pekerjaan rumah, sebaliknya justru menyalakan laptop, atau juga gawai (gadget). Kalau bukan bermain game, tentunya nonton video Youtube misalnya, atau juga berselancar mengarungi media sosial. Pokoknya menghabiskan waktu demi hanya untuk menghilangkan kekecewaan. Bahkan mungkin juga terbersit di dalam hati kita, "Koq Ibu rewel sekali, selalu saja menyuruh untuk belajar. Padahal Presiden sudah ada. Menteri-menterinya pun banyak, dan seringkali berganti-ganti.
Demikian juga para sarjana lulusan perguruan tinggi, saking banyaknya malah semakin menambah jumlah para pengangguran saja. Daripada repot belajar, tokh akhirnya akan jadi penganggur juga seperti mereka."
Di saat kita menginjak dewasa, sepertinya Ibu tak pernah bosan-bosannya mengingatkan kita. Bila tiba waktunya shalat misalnya, selalu saja menyuruh kita untuk segera menunaikannya. Padahal saat itu kita sedang asyiknya bertelepon-ria dengan pacar tercinta. Sehingga meskipun memang kita meng-iya-kannya, tetapi percakapan mesra pun sepertinya sayang kalau harus sampai dilewatkan.
Sehingga jalan keluar satu-satunya, demi membuat Ibu agar tidak nyinyir lagi, dan percakapan terus berjalan, apa boleh buat, terpaksa kita pun membohonginya. Pura-pura hendak menunaikan shalat, padahal sebenarnya pergi agak jauh ke tempat tersembunyi agar tak terlihat Ibu lagi.