Menjelang maghrib sebuah MVP warna silver berhenti di depan rumah. Anak-anak berlarian ke gerbang halaman. Karena siapa lagi yang datang kalau bukan ibu dan neneknya. Sudah pasti yang mereka buru adalah oleh-olehnya. Istri saya memang baru pulang dari undangan pernikahan anak paman saya yang tinggal di Jakarta.
Setelah sesaat menanyakan kabar keluarga yang dikunjungi, saya pamit untuk pergi ke masjid. Sementara pertanyaan tentang suasana pesta pernikahan dan tetek-bengeknya nanti saja kalau sudah selesai menunaikan shalat. Itu lebih baik, karena bisa jadi istri saya pun butuh istirahat setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh.
Sepulang dari masjid, tampak hidangan makan malam sudah tersedia di meja makan. Tapi tidak sepertinya tidak ada lauk-pauk yang biasa dibawa dari sebuah hajatan. Ibunya anak-anak malah memperlihatkan dus kecil yang dibukanya di depan saya, dan di dalamnya berisi sebuah kemasan ikan kaleng, kemasan minyak goreng, dan sebungkus kue biskuit.
"Semua keluarga yang datang pun hanya dibawakan yang beginian saja," katanya, "Mungkin karena kalau diberi makanan yang sudah dimasak takut cepat basi."
Bisa jadi memang demikian maksud sahibul hajat. Bahkan kalau dipikir-pikir, keluarga yang datang dari kampung hampir satu RT saking banyaknya. Mana semuanya sampai tinggal dua malam di rumah yang menyelenggarakan hajatan itu. Artinya anggaran untuk menjamu pun akan lebih besar lagi. Karena itu pula saya sendiri tidak ikut menghadirinya. Alasan lainnya, karena kalau saya ikut pergi, anak-anak gadis saya dan seorang cucu kami siapa yang menjaganya. Meskipun secara fisik dua anak gadis kami itu sudah dewasa, tetapi 'jaman now' tetap saja rasa waswas kerap menghantui kami sebagai orang tuanya.
"Eh, Pak, tadi usai resepsi ada yang bilang kalau salah seorang saudara kita tidak memberi sepeser pun uang buat sahibul hajat..."
"Siapa tuh orangnya yang ngomong begitu?" tanya saya.
"Ada saja. Tak perlu tahulah."
Lalu saya sebut beberapa nama yang saya curigai, dan mempunyai kebiasaan bergunjing. Tapi istri saya tetap menggelengkan kepala.
"Bukan. Bukan mereka," cetusnya dengan rona wajah sedikit pucat, karena mungkin mendengar suara saya yang mulai meninggi.
"Lalu siapa yang berani bicara seperti itu kalau bukan mereka yang biasanya juga suka bikin gosip!"