Program pemerintah untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di pedesaan, selalu saja berganti-ganti seiring dengan bergantinya rezim yang berkuasa.
Meskipun tujuannya tidak berbeda - demi meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat desa, tentunya, tapi kesannya begitu kental dengan kepentingan politis setiap penguasa.
Hal itu tentu saja seringkali membuat kebingungan pemerintah desa, dan para pengelolanya sendiri. Selain program yang sebelumnya masih berjalan, tiba-tiba muncul lagi program yang baru dengan model pengelolaan yang berbeda pula.
Padahal keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang betul-betul profesional, di perdesaan, masih merupakan sesuatu problematika yang sampai saat ini masih saja menjadi batu sandungan.
Adapun faktor yang menjadi penyebabnya adalah karena generasi muda yang telah mengenyam pendidikan lebih memilih untuk mendapatkan pekerjaan di kota-kota besar.
Selain itu pola pikir, atau mindset sebagian masyarakat perdesaan yang masih beranggapan jika program perguliran yang diluncurkan pemerintah, merupakan dana hibah layaknya sedekah.
"Anak Haram" yang Sukses Melestarikan Asset Negara
Sebagaimana halnya dengan program Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, atau yang lebih akrab dipanggil SBY, yang di saat berkuasa meluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri perdesaan (PNPM MPd).
Walakin kemudian setelah SBY diganti oleh Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, maka program itu pun diganti pula dengan yang sekarang dikenal dengan program Dana Desa yang di dalamnya termasuk untuk pemberdayaan masyarakat.
Sehingga asset PNPM MPd berupa dana perguliran yang tersebar di banyak kelompok perempuan pun pada awalnya dianggap tidak jelas lagi statusnya.