Djoko Tjandra, terpidana yang menjadi buronan kasus Cessie, atau pengalihan hak tagih Bank Bali, kembali jadi perbincangan setelah diketahui sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.
Sebagaimana diketahui Djoko Tjandra merupakan satu dari sejumlah nama besar yang terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.
Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat. Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar.
Hanya saja dalam perjalanannya, kasus tersebut penuh dengan lika-liku yang penuh dengan 'kejutan' dalam sejarah peradilan di negeri ini.
Betapa tidak, dakwaan tindak pidana korupsi sebagaimana yang menjadi tuntutan JPU, baik di tingkat pengadilan negeri (PN), pengadilan tinggi (PT), hingga mahkamah agung (MA), menolak dakwaan jaksa penuntut umum, lantaran hakim yang menangani kasus tersebut sepakat bahwa kasus Cessie Bank Bali merupakan kasus perdata.
Baru setelah jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA terkait dengan terdakwa Djoko yang dinilai memperlihatkan kekeliruan yang nyata, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun.
Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali.
MA juga memerintahkan dana yang disimpan dalam rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara.
Akan tetapi, Djoko diketahui pada 2009 lalu telah melarikan diri ke Papua Nugini sebelum dieksekusi. Bahkan kemudian Djoko Tjandra pun pindah kewarganegaraannya menjadi WN Papua Nugini.
Sehingga apabila kemudian diketahui Djoko Tjandra kembali ke Indonesia, dan sebagaimana dikatakan Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parelemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020), buronan kelas kakap itu sudah tiga bulan keberadaannya di Indonesia ini, maka suka maupun tidak, pihak aparat keamanan dan penegak hukum telah kecolongan.
Bahkan tidak menutup kemungkinan apabila buronan itu ada 'main mata', bahkan mendapat perlindungan dari oknum pejabat yang memiliki pengaruh besar.