Lihat ke Halaman Asli

Adjat R. Sudradjat

TERVERIFIKASI

Panggil saya Kang Adjat saja

Soal Menulis, Persetan dengan Segala Teori dan Tekniknya

Diperbarui: 28 Juni 2020   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Pexels/Karolina Grabowska)

Setiap kali hendak menulis, selalu saja muncul banyak pertanyaan yang pada pokoknya berkelindan di seputar cara menulis yang the best, tentu saja. Seperti misalnya ketika hendak menulis untuk diposting di Kompasiana ini. 

Diam-diam dalam hati muncul harapan, paling tidak tulisan yang kita posting bisa masuk dalam label Artikel Pilihan, atawa Terpopuler, meraih Nilai Tetinggi,  dan syukur-syukur selain itu juga sampai dikasih label Artikel Utama, atawa yang disebut Headline (HL) oleh orang Amrik sana.

Bagi seorang calon penulis, penulis pemula, bahkan penulis profesional sekalipun, harapan seperti yang dikemukakan di atas merupakan suatu keniscayaan. Untuk apa repot-repot menulis yang  bertujuan untuk dipublikasikan, kalau tidak berharap tulisan kita itu mendapat sambutan dari khalayak pembaca?

Bohong besar kalau ada yang masih berkilah hanya sekedar menyalurkan panggilan hati, atawa paling tidak untuk mengeluarkan segala permasalahan yang memenuhi batok kepala. Kalau tokh tujuannya seperti itu, buat apa dipublikasikan. Sudah saja cukup ditulis di buku diary, atawa jurnal pribadi.

"Waduh, kok ekstrim sekali sih?" Begitu kira-kira pertanyaan yang pertama muncul dalam diri ketika membaca tulisan ini.

Terus terang, hal itu lantaran berangkat dari pengalaman penulis sendiri. Sejak usia berangkat remaja hingga sudah beranjak tua-bangka sekarang ini, permasalahan yang selalu ditemui ketika akan memulai menulis adalah serupa itulah.

Sungguh. Dalam diri ini selalu saja muncul rasa was-was, atawa ragu-ragu bercampur ketakutan manakala menghadapi kertas, dan tangan sudah memegang pena. Belakangan ini berubah saat menghadapi layar kompter, atawa laptop, maupun smartphone.

Betapa tidak, kalau tulisan itu ditolak redaksi karena dianggap tidak layak, atawa tegasnya jelek - tidak bermutu sama sekali. Paling tidak sekalipun sudah dipublikasikan sekalipun, seperti misalnya di Kompasiana ini, tidak ada yang melirik, dan dilewati begitu saja. 

Bagaimana, dan dari mana saya harus memulai tulisan, merupakan momok yang sulit dienyahkan.  Sama sekali saya tidak tahu harus memulainya. Belum lagi ketika ide muncul, tapi saat akan ditulis justru malah mengalami kebuntuan. Hilang sudah rasa percara diri yang - padahal sebelumnya, begitu memenuhi kepongahan diri. Iya, memanganggap bahwa Menulis Itu Gampang, seperti yang dikatakan Arswendo Atmowiloto di dalam bukunya. 

Bahkan bukan sombong, sebelum membaca "Mengarang Itu Gampang", "Teknik Mengarang" yang ditulis Mochtar Lubis merupakan buku tuntunan menulis yang pertama kali saya temukan. Kemudian disusul dengan Seni Mengarang-nya Aoh K. Hadimadja. Seakan-akan ibarat kata sudah dianggap kitab suci laiknya yang setiap saat wajib dibaca.

Hingga selanjutnya saya pun membaca banyak buku-buku serupa, dan seabreg teori menulis yang ditemukan dari mesin pencari Google, baik yang ditulis langsung oleh mereka yang ditasbihkan sebagai pakar, maupun penulis yang kerjaannya sekedar copy paste belaka. Semua itu saya kunyah-mamah, dan terkadang ditelan mentah-mentah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline