Tampaknya peribahasa lama yang berbunyi "Siapa menabur angin, akan menuai badai", masih berlaku dalam polemik tentang rancangan undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sedang menghangat sekarang ini.
Betapa tidak, gonjang-ganjing yang dipicu oleh upaya mengutak-atik dasar negara Pancasila, barangkali sebelumnya tak pernah terlintas di dalam isi kepalanya akan mengundang kehebohan seperti yang sekarang ini terjadi.
Bahkan dengan rasa percaya diri yang tinggi, mereka yang tengah mengutak-atik Pancasila itu - tentu saja, langsung tancap gas seketika. Hingga sampai terlupakan untuk memikirkan akibat yang akan terjadi di kemudian hari.
Dalam hal RUU HIP ini, hampir semua telunjuk publik mengarah kepada partai politik yang berlogo kepala banteng dengan moncong putih tersebut memang. Ya, partai politik yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri itulah yang dianggap telah bertindak atas nama kekuasaan yang saat ini berada di dalam genggamannya.
Sebagaimana diketahui salah seorang Founding Fathers negara ini, yakni Presiden Republik Indonesia yang pertama, Soekarno, ayahanda Ketua Umum PDI-P, merupakan ikon yang tidak bisa lepas dari perjalanan PDIP dalam kiprah politiknya.
Sehingga ketika gagasan untuk melahirkan RUU HIP itupun begitu didominasi oleh pemikiran-pemikiran Sang Proklamator yang terkait dengan dasar negara tersebut.
Bahkan pidato Bung Karno yang ketika itu disampaikan pada 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), atau saat itu dikenal juga dalam bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, Bung Karno menjelaskan soal Pancasila yang berisi kebangsaan, internasionalisme atau peri-kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Apabila lima sila diperas lagi menjadi tiga, maka isinya adalah trisila: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan.
"Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang kepada trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?" kata Sukarno sang penggali Pancasila itu.
Bila Trisila diperas lagi menjadi satu, maka akan bernama ekasila/eka sila, isinya yakni gotong royong."
Pidato Bung Karno tentang Pancasila di atas itu pula yang memicu kehebohan sekarang ini, ditambah lagi dengan munculnya tudingan tentang TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 yang dianggap tidak dijadikan rujukan (konsideran) RUU HIP tersebut.
Mendapatkan kritikan yang bertubi-tubi datangnya, PDIP yang dianggap sebagai penggagas, sontak berkilah.