Efek pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19) terhadap kehidupan, tak dapat disangkal lagi oleh siapa pun juga memang. Terlebih lagi oleh masyarat golongan ekonomi menengah ke bawah.
Terutama sejak diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di berbagai wilayah yang sudah termasuk zona merah, kesulitan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari semakin terasa saja.
Ditambah lagi dengan tibanya bulan Ramadhan, yang bagi sebagian orang identik dengan bertambahnya pula kebutuhan.
Sebagaimana yang dirasakan tetangga sebelah rumah. Saya sendiri sungguh merasa prihatin dengan keadaannya yang begitu berubah drastis dari sebekumnya.
Tetangga saya yang satu ini, profesinya sebagai seorang sopir bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang melayani trayek Tasikmalaya - Jakarta. Tepatnya ke terminal Kampung Rambutan.
Biasanya Kang Ujang (50) bekerja selang satu hari, tepatnya jalan satu rit dalam sehari semalam, dan esoknya istirahat di rumah.
Adapun penghasilan dalam satu rit boleh dibilang lumayan untuk ukuran hidup di kampung. Selain mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kang Ujang pun bisa memiliki beberapa petak sawah dari pekerjaan yang sudah dijalani hampir 25 tahun itu. Bahkan anak-anaknya pun bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu juga bila kebetulan sedang berada di rumah, Kang Ujang seringkali mengundang tetangga untuk sekedar kongkow-kongkow, ngobrol ngalor-ngidul. Dengan tak lupa menghidangkan kopi dan rokok.
Sehingga bagi tetangga sekitar yang kebanyakan buruh informal, sikap Kang Ujang dianggap sebagai orang yang royal, tak pernah pelit berbagi rejeki.
Namun sejak diberlakukannya imbauan physical distancing hingga PSBB sekarang ini yang sudah hampir dua bulan, Kang Ujang sama sekali sudah tidak bekerja lagi sebagaimana biasanya.
Hal itu berpengaruh terhadap kehidupannya pula - tentu saja. Jangankan mengundang para tetangga, untuk kebutuhan dapur saja seringkali dikeluhkannya.