Jangan mengaku sebagai Kompasianer, iya penulis di blog keroyokan Kompasiana ini kalau masih cengeng, apalagi masih suka ngeyel. Begitu kira-kira kesimpulan yang dapat saya terjemahkan dari poin-poin yang disampaikan Content Superintendent, Widha Karina, Kamis sore (9/4/2020).
Mungkin bagi Kompasianer yang masih usia belia, dan remaja, atawa juga bagi mereka yang masih pemula, sikap cengeng dan ngeyel banyak protes merupakan sesuatu yang masih bisa dimaklumi. Wajar tokh namanya juga baru belajar. Apalagi jaman sekarang ini kebebasan mengeluarkan uneg-uneg seenak hati bukanlah hal yang masih dianggap tabu lagi.
Akan tetapi, bagi Kompasianer yang dari tulisannya saja sudah menampakkan kedewasaan, baik dari cara penulisan atawa yang ditulisnya juga sudah kelihatan seperti telah terbiasa bergelut dengan dunia tulis-baca (kecuali kalau tulisannya itu hasil menjiplak, atawa copy paste karya orang lain), akan lain lagi masalahnya jika masih bersikap seperti itu.
Misalnya saja saya sendiri pernah menemukan curhat yang mempertanyakan viewer, istilah bagi pembaca konten, yang belakangan ini semakin hari semakin berkurang saja terhadap konten yang ditayangkan di Kompasiana ini.
Di lain waktu, pernah juga selewatan dijumpai Kompasianer yang dengan gagah dan bangganya mengaku pernah datang berkunjung ke 'dapur' Kompasiana di Palmerah. Dengan demikian, dirinya merasa bakal bisa mendapat kemudahan. Konten yang dipostingnya bakalan masuk keranjang Artikel Utama (AU), paling tidak masuk Artikel Pilihan sudah di tangan. Lantaran sudah mendapat centang biru. Terlepas dari konten yang dipostingnya itu sebenarnya masih harus tetap dipertimbangkan layak tidaknya masuk dua kategori itu.
Berhubung Admin menemukan pelanggaran dari syarat dan ketentuan pada konten yang diposting Kompasianer tersebut, boro-boro masuk AU, nangkring di artikel pilihan saja tidak ditemukan oleh yang bersangkutan.
Mungkin karena mental Kompasianer tersebut termasuk dalam kategori cengeng, maka ia pun merasa down, gairah dan semangat menulisnya punseketika jadi musnah. Lalu ia pun bertanya dalam nada protes.
Begitu antara lain contoh dari sikap lucu yang sebenarnya tidak lucu, yang seringkali dipertontonkan Kompasianer. Belum lagi yang sampai mencak-mencak, sampai gebrak meja sendiri hingga seluruh benda di atasnya berhamburan, dan membuat Kompasianer tersebut tidak bisa menulis lagi. Lantaran laptopnya terjatuh ke lantai, sampai rusak-berantakan.
Hahaha...Gue banget euy!
Sehingga kata apalagi yang paling tepat untuk diberikan terhadap Kompasianer semacam itu kalau bukan: Goblok namanya. Ekstrim memang. Tapi biar kita semua paham kok.
Bisa jadi keluhan semacam itu akan muncul apabila pada awalnya memang setiap kontennya itu memiliki jumlah viewer yang membludak banyak. Sehingga dirinya pun merasa takjub. Bahkan tidak menutup kemungkinan saking takjubnya, sampai membuat dirinya lupa diri. Lupa juga untuk menyadari dengan siklus kehidupan yang sejatinya selalu naik dan turun.