Mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, atawa biasa dipanggil Ahok, pada 25 November 2019 lalu, resmi diangkat sebagai komisaris Utama PT Pertamina (Persero).
Sebelumnya, kendati nama Ahok baru mencuat ke permukaan, dan belum jelas akan ditempatkan di perusahaan pelat merah yang mana, suara-suara yang pro dan kontra langsung bergema.
Kitapun mafhum. Mereka yang menentang Ahok akan mendapat kedudukan, siapa lagi kalau bukan seteru abadinya, yakni kelompok ormas Islam yang sejak jelang Pilkada di DKI Jakarta 2017 lalu berada di belakang pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, serta tak henti berusaha menjegal pasangan BTP-Djarot dengan berbagai cara.
Upaya kelompok itupun tak sia-sia. Melalui dua unjuk rasa besar di Ibu Kota yang menuntut penuntasan kasus penistaan agama yang menjerat BTP,setelah ia mengutip surat Al-Maidah ayat 51 tentang larangan memilih pemimpin nonmuslim, Ahok kemudian divonis dua tahun penjara karena dianggap menodai agama. Ditahan di Markas Korps Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat,mulai 9 Mei 2017, hingga dibebaskannya pada 24 Januari 2019.
Kendati Ahok telah kalah dalam Pilkada DKI Jakarta, dan telah menebus dosanya di dalam penjara, ternyata kebencian kelompok tersebut tidaklah sirna. Terbukti ketika muncul rumor Ahok akan dijadikan pimpinan di salah satu perusahaan pelat merah, teriakan penolakan pun terlontar dari kelompok yang itu-itu juga.
Bahkan sampai akhirnya BTP diangkat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) oleh Menteri Badan Usaha milik Negara (BUMN), Erick Thohir, kebencian mereka sepertinya kian menjadi-jadi saja. Terbukti dalam aksi massa 212 di Monas, Jakarta Pusat (21/2/2020), nama Ahok kembali disebut-sebut. Ditudingnya BTP terlibat beberapa kasus korupsi, dan dengan lantangnya salah satu orator dalam aksi tersebut menuntut mantan Bupati Belitung Timur itu mundur dari kedudukannya sebagai Komut PT Pertamina (Persero).
Hanya saja tuduhan itu pun tanpa dibarengi dengan menyebutkan secara detil, misalnya saja dalam kasus korupsi apa saja yang dilakukan Ahok tersebut. Terlebih lagi kalau sampai dengan menunjukkan barang bukti. Sama sekali tak disebutkannya. Oleh orator aksi 212 -- tentu saja.
Terlebih lagi, sejauh ini pihak pemerintah sudah memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada BTP, lantaran telah memiliki penilaian tersendiri,terutama dalam kinerjanya yang tegas tanpa kenal kompromi, dan dibarengi sikap jujur yang tercermin dari selalu mengedepankan prinsip transparansi.
Bisa jadi pula karena sikap tegas tanpa mengenal kompromi, pihak pemerintah memberikan kepercayaan kepada BTP untuk mengawasi jalannya perusahaan migas milik pemerintah yang selama ini selalu saja mendapat gangguan dari para mafia.
Ya, mafia migas tentunya.
Menurut mantan Ketua umum PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif, sudah puluhan tahun bangsa dan negara ini dijadikan sapi perahan oleh para mafia dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Kekayaan negara yang berhasil dirampok mereka dalam tenggat yang panjang itu mungkin sudah berada pada level ratusan triliun.
Masih segar dalam ingatan, pembubaran anak perusahaan Pertamina Petral (Pertamina Energy Trading Limited) yang berkantor di Singapura pada 2015 oleh pemerintah, adalah sebuah tindakan berani yang sekian lama dipelihara oleh para mafia migas yang bermitra dengan oknum rezim penguasa sebelumnya.
Salah seorang 'mafioso'-nya adalah pengusaha Mohammad Riza Chalid, atawa sering dipanggil Reza Chalid yang pernah menghilang sebagai buronan, yakni ketika kasus "Papa minta saham" yang menjerat mantan ketua umum partai Golkar, Setya Novanto.
Akan tetapi ajaibnya lalu muncul kembali dalam pertemuan partai pendukung pemerintah menjelang Pilpres 2019 yang lalu, layaknya seperti manusia kebal hukum saja. Tidak sulit untuk menduga bahwa pengusaha Reza ini punya jaringan rapi dengan pimpinan partai dan politisi tertentu.
Sebenarnya, Presiden Jokowi sejak masa jabatan pertama tahun2014 telah mengetahui tentang mafia migas ini, tetapi tampaknya belum berdaya betul untuk melawannya karena terlalu banyak kekuatan hitam yang terlibat di dalamnya. Pada periode kedua ini, kembali Presiden marahmarah tentang gurita mafia migas ini. Mereka ini berupaya dengan segala cara agar Indonesia jangan sampai membangun kilang minyak agar negeri ini tetap bergantung pada impor minyak yang membengkakkan defisit anggaran negara.
Menurut Presiden, sudah 34 tahun pemerintah tidak pernahmampu membangun kilang ini karena diadang terus oleh para mafia yang"berkuasa" yang sosoknya sudah dikenal itu. Tinggal lagi tindakan tegas terhadap mereka.
Coba bayangkan karena tidak punya kilang minyak,Indonesia harus mengimpor minyak sebesar 700 ribu hingga 800 ribu barel perhari yang sangat menggerogoti pundi-pundi negara.
Bisa jadi karena itulah kenapa pemerintah mengangkat BTP sebagai komisaris Utama Pertamina (Persero). Pemerintah berharap BTP mampu membungkam mafia migas yang telah merugikan negara yang sedemikian lamanya.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H