Dari 101 daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2017, bisa jadi hanya dalam pelaksanaan kegiatan Pilkada di DKI Jakarta saja yang paling menarik perhatian. Pasalnya karena selain dianggap sebagai barometer politik nasional, juga dianggap sebagai pelaksanaan pesta demokrasi yang begitu ugal-ugalan.
Betapa tidak. Suhu Jakarta yang selama ini begitu panas, ditambah dengan udaranya yang telah disesaki beragam polusi, belakangan ini ditambah lagi dengan situasi Pilkada yang dianggap sudah melenceng jauh dari substansi demokrasi itu sendiri, sehingga membuat kota megapolitan ini kian tampak centang perenang, alias berantakan tidak karuan, dan terasa panas membara karena terbakar syahwat angkara demi menggapai kuasa yang seakan tidak lagi dibarengi akal dan logika – di dalam koridor kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, tentu saja.
Jakarta yang selama ini dikenal sebagai miniatur negara kesatuan Republik Indonesia, karena selain dihuni oleh pribumi yang menamakan diri sebagai orang Betawi, juga banyak pendatang dari berbagai daerah yang memiliki keragaman budaya dan agama yang dianutnya. Sehingga khazanah kebhinekaan Indonesia pun begitu terasa kental dalam keseharian penghuninya.
Akan tetapi menjelang digelar Pilkada 2017, kebhinekaan di Ibu Kota ini sudah mulai tampak terkoyak. Isu SARA yang di dalamnya begitu kental dengan primordialisme dan intolenransi mencuat dengan beringasnya ke permukaan. Terlebih lagi saat sudah tiba waktunya pelaksanaan pesta demokrasi itu, sentimen negatif yang secara kasat mata sudah terbaca untuk menjegal salah satu pasangan calon, seakan semakin bergelombang beterbangan memenuhi setiap sudut ruang.
Bahkan yang paling tragis, sekaligus memprihatinkan, kekerasan berupa provokasi yang dibarengi dengan intimidasi pun pada ahirnya menjadi kenyataan. Terhadap warga yang seiman, tapi karena beda pilihan, maka predikat sebagai munafik hingga kafir pun disematkan terhadap yang bersangkutan. Malahan yang paling mengerikan, saat yang bersangkutan meninggal dunia, jenasahnya pun sudah tak lagi dihiraukan. Kecuali kalau keluarganya mau menandatangani kesepakatan sebagaimana dikehendaki segelintir orang yang secara terang-terangan memaksakan kehedak sepihak, barulah jenasah tersebut diurus secara layak.
Tidak hanya dengan sesama warga saja, terhadap aparat penjaga keamanan pun sepertinya sudah tidak diakui lagi keberadaannya. Dengan mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan, dimaklumatkan, pihak-pihak yang memaksakan kehendak itu akan menjadi satuan pengamanan di setiap tempat pemungutan suara dalam pelaksanaan putaran kedua yang akan datang.
Begitu juga dengan insiden yang menimpa calon wakil gubernur, Djarot Saiful Hidayat, saat menghadiri sebuah acara di sebuah masjid. Djarot diusir, dan diperlakukan secara barbar oleh mereka yang meengaku mengusung agama sebagai panduan kesehariannya.
sehingga muncul pertanyaan, inikah wujud dari demokrasi buah dari reformasi yang terjadi pada tahun jelang berahirnya abad 20 itu, atawa malah justru sebaliknya kalau demokrasi yang dibangun dengan air mata dan tumbal jutaan nyawa di awal kemerdekaan negara ini akan berahir hanya sampai di sini?
Masih segar dalam ingatan, seorang rektor muda di Universitas Paramadina (ketika itu) yang dikenal dengan nama Anies Rasyid Baswedan, telah mensinyalir, kehidupan berbangsa dan bernegara ala Indonesia yang kental dengan kesatuan dalam keberagaman, belakangan ini sudah kembali terkoyak dengan munculnya sentimen minoritas dan mayoritas yang disusul kemudian dengan timbulnya kekerasan yang kerap memakan korban nyawa yang sia-sia.
Sehingga sosok yang pernah disebut sebagai intelektual muda terkemuka, ini menyerukan dengan tegasnya agar bangsa Indonesia harus berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara lainnya. Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan!
Terhadap fenomena itu, Anies kemudian menyatakan,Tenun kebangsaan itu dirobek, diiringi berbagai macam pekikan seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini tak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau, pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan ikatan kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini.