Tidak hanya di luar negeri, di negeri sendiri pun para pegiat HAM yang menentang hukuman mati bagi para bandar dan pengedar narkoba, begitu lantang menolak kebijakan pemerintahan Jokowi-JK di bidang hukum tersebut. Bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan hak asasi manusia, dan bertentangan dengan Universal Declaration of Human Right-nya Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Akan tetapi dengan munculnya kasus Anak Terlantar yang saat ini menjadi topik hangat media, dan disinyalir kedua orang tuanya positif sebagai pengguna narkoba, masihkah para pegiat HAM yang menentang hukuman mati itu mau bersuara ?
Sebagaimana diketahui, kedua orang tua lima orang bocah yang diterlantarkan tersebut bukanlah berasal dari keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan, atau yang dewasa ini biasa dinamakan penerima kartu-kartu saktinya program Jokowi-JK. Keluarga itu, sebagaimana diekspos media televisi, rumahnya terbilang mewah. Memiliki kendaraan roda empat pun dua buah. Malahan yang sungguh-sungguh memprihatinkan, profesi ayah anak-anak terlantar itu adalah dosen di sebuah perguruan tinggi. Dosen yang identik dengan guru, alias seorang yang patut digugu dan ditiru oleh anak-didiknya, ternyata di dalam kehidupan rumah tangganya sangat, sangat kontradiksi, selain sebagai pecandu narkoba yang bertentangan dengan norma-norma hukum agama dan negara, juga dari aspek kesehatan jiwa maupun raga pun sama juga merusaknya. Sungguh parah memang potret kehidupan keluarga tersebut.
Lebih parahnya lagi dengan menelantarkan lima orang buah hatinya yang masih di bawah umur. Padahal anak-anak tersebut adalah generasi penerus, paling tidak bagi orang tuanya yang kelak akan menjadi penopang kehidupan ayah-ibunya di saat menjelang tua kelak. Selain itu anak-anak tersebut sama sekali tidak memiliki kesalahan apa-apa. Bahkan kalau pun mereka memiliki kesalahan sebagaimana biasanya dilakukan bocah seusianya, tidak sepatutnya mendapat hukuman pisik hingga diterlantarkan berbulan-bulan – sebagaimana dilakukan kedua orang tua anak itu.
Namun hal itu memang sudah terjadi. Kedua orang tua yang telah menelantarkan anak-anaknya merupakan salah satu korban dari penggunaan narkoba. Dan narkoba memang sangat, sangat merusak ternyata. Siapa pun bisa terlibat. Tidak hanya orang awam saja, bahkan seorang pendidik yang notabene seorang intelektual, alias di mata awam sebagai kasta terpelajar, bisa menjadi pecandu juga ternyata.
Dalam kenyataannya, setelah menjadi pecandu barang haram tersebut, maka dia pun seakan lupa siapa dirinya, bagaimana statusnya di masyarakat, bahkan terhadap anak-anak kandungnya sendiri.
Oleh karena itu, sudah sepantasnya jika hukuman mati bagi bandar dan pengedar narkoba terus dilanjutkan. Paling tidak sebagai shock-theraphy. Di Indonesia ini sepertinya cara-cara menegakan aturan dengan demikian masih berlaku dewasa ini. Tokh korban-korbannya tidak hanya penggunanya saja. Anak keturunannya pun bisa menjadi korban juga ternyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H