DEMIKIAN pendapat seorang teman ketika teman yang satu lagi melemparkan pertanyaan: Dapatkah pelacuran di muka bumi ini dilenyapkan? Obrolan itu terkait maraknya pemberitaan tentang pelajar sekolah yang mengadakan arisan untuk melampiaskan hasrat seksualnya kepada perempuan penjaja esek-esek di lokalisasi.
Transaksi berahi itu setua kitab suci, kata teman itu lagi. Seperti juga dalam filosofi Cina, selama Yin dan Yang masih bersemayam di tubuh manusia, atau menurut ajaran Islam selama Iblis belum mati, pelacuran tetap bertebaran di muka bumi ini.
Mendengar penjelasan teman itu, membuat saya teringat dengan Dramaturgi Agama Pelacur-nya Prof. Dr. Nur Syam, M.Si. Pada dasarnya pelacuran itu jangan dipandang dari satu sisi saja. Agama dan moral, sudah jelas memberi stigma sangat buruk. Bahwa perbuatan zina komersial itu haram hukumnya. Bahwa pelakunya adalah manusia a-moral. Akan tetapi sudahkah kita menelisik lebih jauh lagi, mengapa para pelacur itu begitu beraninya menentang larangan agama, menginjak-nginjak moral yang diyakini akan membawa kebahagiaan bagi manusia yang berpegang padanya ?
Inilah masalahnya. Dengan gamblang Nur Syam membeberkan, sebagian besar kaum perempuan yang melakoni profesi sebagai penjaja esek-esek itu karena terdesak oleh keadaan. Keadaan yang sifatnya bak makan buah simalakama, atau pilihan antara hidup dan mati.
Betapa tidak. Kondisi kehidupan keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan bisa jadi alasan utama. Jangankan kedua orang tua pelacur itu mampu untuk menyekolahkan, atau memasukkan anaknya ke madrasah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun bagi keluarga itu susahnya minta ampun.
Apa boleh buat. Ya, daripada hidup sengsara selama-lamanya, pilihan pun jatuh untuk melanggar norma. Kebetulan anak gadisnya punya wajah sedikit manis, dan dapat menarik syahwat kaum hidung belang. Maka dengan hati yang tidak karuan, kedua orang tuanya pun merelakan anak gadisnya melangkah masuk di ‘dunia hitam’.
Itulah. Tuntutan kebutuhan hidup merupakan alasan yang acap dikemukakan. Kondisi perekonomian negara pun dijadikan kambing hitam. Lalu wajarkah kalau pemerintah disalahkan ? Sungguh. Pemikiran seperti itu rasa-rasanya tidak adil. Demikian juga kepada orang-orang yang hanya bisanya memberi stigma, sudah saatnya para pelacur itu memaafkannya.
Sungguh. Saya sendiri justru lebih menghargai sikap para pelacur itu yang mau berterus terang, mengemukakan alasan yang membuatnya jadi penghuni ‘dunia hitam’ dengan begitu gamblang. Para pelacur itu mengaku hatinya hancur manakala lelaki hidung belang sedang menggumulinya. Daripada para pelacur ideologi, daripada orang yang menghambakan diri pada kekuasaan yang semu itu, dengan munafiknya mereka justru seringkali menjungkirbalikkan fakta dan dogma. Yang penting bagi mereka rasa hedonisnya dapat terpenuhi.
Oleh karena itu korupsi pun masih tetap berlangsung dilakukan oleh pelacur-pelacur itu. Pelacur berdasi yang gentayangan di lembaga-lembaga pemerintahan negeri ini. Bisa jadi uang yang mereka korusi, ada di antaranya untuk membeli tubuh penjaja esek-esek itu....***
Gegerbeas, 04/01/2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H