ISTRIKU bilang, Tuhan sangat memperhatikanku. Dan begitu menyayangiku. Hari ini Tuhan menyuruhku untuk menjauhkan diri dari tuts keyboard. Dimintanya aku agar berbaring saja di tempat tidur. Tapi sungguh. Kali ini aku tidak bisa menuruti permintaan Tuhan. Aku harus tetap menulis. Walau suhu tubuhku panasnya di atas rata-rata. Tapi dinginnya juga terasa membuat gigiku gemelatuk, dan harus tetap berselimut.
Dengan tatapan jengkel, istriku tak mampu lagi melarangku. Tapi ketika aku mencoba berdiri, dia membantuku. Menahan bahu,dan tangan satunya menyeret kursi. Setelah duduk, kubuka notebook yang tergeletak di meja. Lalu kunyalakan. Dan sambil menunggu me-loading, tatapanku mengarah ke luar jendela.
“Sedang sakit begini, mana bisa konsentrasi,” kata istriku yang masih berada di belakangku.
“Tapi tanganku masih bisa bergerak. Aku rasa masih mampu untuk menulis,” sahutku tanpa melepaskan tatapanku pada daun-daun pisang yang berayun ditiup angin di luar sana.
“Dasar keras kepala. Terserah. Asal kalau kumat lagi, jangan mengeluh!” katanya sambil berlalu. Keluar dari kamar. Meninggalkanku.
Aku tak bergeming. Bukankah aku sendiri yang menyuruh diriku untuk tetap ajeg melakukan kegiatan yang satu ini dalam keadaan apa pun. Dalam sakit sekalipun seperti saat ini. Karena sekali saja tidak menulis, maka bisa membuatnya terhenti sama sekali. Seperti beberapa bulan yang lalu. Ketika itu ada urusan keluarga yang tidak bisa ditunda. Anak kakak kami akan menikah di Jakarta. Kami sekeluarga harus menghadirinya.
Semula memang aku mau menolaknya. Takut kegiatan menulisku terganggu. Tapi melihat gelagat istriku yang tampaknya mengharuskanku untuk ikut, apa boleh buat. Mungkin di sela-sela kesibukan pesta pernikahan aku masih punya kesempatan untuk melakukan kegiatanku ini. Ya, bagaimanapun namanya dengan saudara, kita harus saling bisa memelihara hubungan baik. Dan tidak baik untuk menolak undangannya itu.
Dalam perjalanan, saat kendaraan yang membawa kami ke Jakarta sedang melaju, aku masih punya kesempatan untuk menulis. Bahkan selama empat jam itu aku dapat menyelesaikan dua tulisan. Wah, betul-betul menyenangkan. Mudah-mudahan di tempat saudara kami pun aku masih tetap bisa melakukannya.
Akan tetapi yang namanya akan mengadakan pesta pernikahan, ternyata semua orang dibuat sibuk memang. Termasuk aku sendiri. Tidak enak manakala orang lain bekerja, dan aku malah asyik menulis. Bisa-bisa dibilang orang sok lagi. Dan dari persiapan hingga pesta pernikahan itu selesai, yang ternyata memakan waktu tiga hari itu membuatku menahan keinginan untuk menulis. Ahirnya untuk tiga hari itu aku sama sekali tidak menulis memang. Inspirasi yang muncul berdatangan, kubiarkan lewat dan kembali menghilang .
Sepulangnya dari Jakarta, dalam kendaraan ada keinginan untuk menulis tentang hari-hari kemarin yang penuh dengan kesibukan itu. Tapi ternyata aku menemui kesulitan. Tubuhku terasa lelah. Demikian juga kepalaku menjadi sulit untuk konsentrasi. Sehingga kupikir sebaiknya nanti saja setibanya di rumah.
Nah, di rumah pun ternyata aku tidak bisa menulis seperti biasanya. Kadang-kadang untuk sebuah kata permulaan pun sulitnya minta ampun. Dan kalau sudah demikian, aku menyerah dengan kata: Nanti saja diteruskan. Ya, ditunda untuk waktu yang entah sampai kapan. Karena ketika besoknya akan memulai lagi, kesulitan masih juga menghantui. Begitu. Dan begitu seterusnya.
Di saat keinginan untuk menulis sulit ditahan lagi jugalah, meskipun dengan susah payah, ahirnya aku dapat kembali menyelesaikan sebuah tulisan. Dan ahirnya aku berketetapan, dalam keadaan apapun kegiatan menulis memang jangan ditinggalkan. Kalau ingin ada peningkatan. Harus terus dilakukan. Dalam keadaan sakit sekalipun. Seperti yang kualami sekarang ini. Karena aku harus menulis terus.***
Gegerbeas, 10/12/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H