Lihat ke Halaman Asli

Adjat R. Sudradjat

TERVERIFIKASI

Panggil saya Kang Adjat saja

Janji Kang Sarpin

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

HARI Jum’at memang hari yang istimewa bagi umat Islam. Khususnya bagi kaum pria. Karena di hari itu mereka akan berkumpul di dalam masjid dengan sesamanya untuk menunaikan ibadah shalat Jum’at.  Berjabatan tangan, bershalawat, ber dzikir, membaca Al Quran, mendengarkan khotbah yang disampaikan khatib, kemudian dilanjutkan dengan shalat berjamaah.

Itulah istimewanya. Terlebih lagi bila sampai di rumah, bagi yang sudah beristri tentunya, akan disambut dengan hidangan di atas meja makan. Bahkan bagi istri yang telah mengetahui keistimewaan hari Jum’at, dia akan menawari suaminya untuk bercinta di kamar tidur.

Akan tetapi bagi Kang Sarpin malah sebaliknya. Hari Jum’at justru hari yang seperti neraka (Kalau neraka memang tempat penyiksaan paling dahsyat, seperti yang pernah didengarnya dari khatib). Begitu menyiksa. Bahkan Kang Sarpin belakangan ini seakan enggan untuk bertemu dengan hari yang namanya Jum’at itu.

Betapa tidak. Ketika terakhir dia menunaikan shalat Jum’at di masjid kampungnya, Kang Sarpin merasakan suasana yang lain dari biasanya. Betapa berpuluh pasang mata yang ada di dalam masjid seperti menatapnya penuh dengan kecurigaan. Demikian juga saat khatib menyampaikan khotbahnya, setiap kata-kata yang diucapkannya dari atas mimbar sepertinya ditujukan kepada dirinya. Bahwa bila seseorang menjanjikan sesuatu kepada orang lain, maka janjinya itu mesti ditepati. Karena janji sama dengan utang. Orang yang suka ingkar janji, serupa dengan pembohong besar. Tuhan akan murka terhadap orang seperti itu.

Merah-padam wajah Kang Sarpin saat itu. Kepalanya menunduk lesu. Matanya jatuh menatap lukisan ka’bah pada sajadah yang didudukinya. Sekujur tubuhnya bergidik. Dia merasakan tatapan mata semua yang ada dalam masjid itu tertuju pada dirinya. Tatapan yang tajam, seperti anak panah yang tepat kena pada sasaran.

Memang. Kang Sarpin merasa, bahwa dirinya telah ingkar janji. Janji yang diucapkannya setahun yang lalu. Di sini. Di dalam masjid ini. Saat pengurus DKM menggelar musyawarah untuk merehab masjid yang ketika itu keadaannya seperti manula. Meskipun dua kali dalam satu tahun, menjelang hari raya Iedul Fitri dan Iedul Qurban, dibersihkan dan dicat, akan tetapi karena kayu-kayunya telah banyak yang dimakan rayap, sudah tentu sudah semestinya segera diganti.

Dalam musyawarah itu, sebagaimana biasa, anggaran yang dibutuhkan  diserahkan kepada seluruh warga.  Sebelum diklasifikasi berdasarkan taraf hidup masing-masing warga, terlebih dahulu dilelang kepada warga yang dianggap berharta di kampung itu.

H. Mahmud, orang yang paling kaya di kampung itu, sebagaimana biasa, adalah orang yang pertama menyanggupi untuk menyediakan seratus sak semen. Lalu disusul oleh Kang Omon, pengusaha kerupuk , yang akan menyumbang pasir secukupnya. Sementara Kepala Kampung sendiri menyanggupi untuk menyerahkan setengah hasil panen padi dari tanah cariknya (Upah sebagai Kepala Kampung) pada musim panen yang akan datang.

Kang Sarpin yang ketika itu usahanya sedang gemerlap bintang, sebagai bandar kayu untuk dijual kepada pabrik pengolahan kayu di kota, tampaknya tidak mau ketinggalan untuk mendermakan keuntungan yang diperolehnya. Dia langsung mengacungkan tangannya seraya berkata, bahwa dirinya akan menyumbang genteng Jatiwangi super secukupnya. Dan ketika  dia selesai berkata, maka langsung disambut dengan tepuk tangan hadirin yang sesaat kemudian disuruh berhenti oleh Kiayi Soleman, “Ssttt.... Ini di dalam masjid!”

“Terima kasih... Terima kasih, Kang Sarpin. Semoga niat baik Akang mendapat ganjaran yang setimpal dari yang mahakuasa,” ujar ketua DKM yang merangkap pimpinan musyawarah, dan diamini hadirin.

Sebulan setelah diadakan musyawarah, di halaman masjid sudah tampak beberapa truk pasir, batu belah, dan besi beton hasil sumbangan para dermawan di kampung itu. kemudian bulan berikutnya secara gotong-royong seluruh warga kampung dipugar, dan siap untuk mulai direhab.

Ketika rehab bangunan masjid itu sudah mulai ke tahap pengerjaan atap berikut menaranya, genteng jatiwangi super yang dijanjikan Kang Sarpin belum terlihat satu bijipun. Oleh karena itu, pada ssuatu petang hari, usai melaksanakan shalat magrib berjamaah, ketua panitia bersama salah seorang stapnya  tampak menuju ke rumah Kang Sarpin yang tidak jauh dari lokasi masjid.

Memang, entah karena kesibukannya sebagai bandar kayu, atau entah karena sebab apa, Kang Sarpin sejak dulu mulai jadi bandar kayu, tidak pernah tampak shalat berjamaah di masjid kampungnya. Apabila sekali waktu ada yang bertanya kepadanya, Kang Sarpin cukup menjawab, “Saya shalat di rumah, atau kalau kebetulan sedang dalam perjalanan, ya shalat di masjid yang saya lewati.”

Ketua panitia pun saat bertamu ke rumahnya malam itu, tidak dapat bertemu dengan yang bersangkutan. Kata istrinya, Kang Sarpin sudah seminggu tidak pulang. Dan kabar yang diterima istrinya dari anak buah suaminya, Kang Sarpin sedang di gunung. Sibuk menebangi kayu untuk dijual ke kota. Sementara masalah kesanggupan Kang Sarpin untuk menyumbang genteng jatiwangi super, sebagaimana yang ditanyakan ketua panitia, oleh istrinya akan disampaikan begitu suaminya kembali.

Seminggu berselang, pekerjaan atap masjid pun sudah hampir tuntas. Sedangkan genteng jatiwangi super yang dijanjikan Kang Sarpin belum juga datang, seperti juga Kang Sarpin sendiri yang belum tampak batang hidungnya di kampungnya. Dan ketika sekali lagi ketua panitia mendatangi rumahnya,  malah disambut dengan tangisan oleh istri Kang Sarpin.

Lalu diceritakannya kepada ketua panitia bahwa Kang Sarpin telah menikah lagi dengan seorang janda beranak tiga dari kampung yang dekat dengan gunung tempatnya menebang kayu. Malah sejak menikah dia sama sekali belum pernah pulang menemui istri dan ke-empat anaknya. Begitu juga uang belanja yang biasanya dikirim melalui anak buahnya pun sejak itu tidak pernah lagi diterimanya.

Maka setelah mendapat keterangan dari istrinya tersebut, malam itu juga ketua panitia langsung mengadakan musyawarah untuk merundingkan genteng penutup atap masjid itu. Untunglah haji Mahmud dan tiga orang warga lainnya menyanggupi untuk menutupi kebutuhan yang dianggap sangat mendesak itu. Bahkan seusai musyawarah uang untuk membeli genteng itu langsung diserahkan kepada panitia.

Beberapa minggu kemudian bangunan masjid telah tuntas direhab. Kemudian dsusul dengan acara syukuran. Panitia pembangunan pun dibubarkan setelah sebelumnya menyerahkan pertanggungjawaban kepada ketua DKM. Dan kehidupan di kampung itu terus berjalan seperti biasanya. Sementara Kang Sarpin seperti ditelan kabut gunung. Sedangkan istri dan anak-anaknya menjalani kehidupan dengan mengerjakan sawah dan kebun yang menjadi harta keluarga itu.

Suatu sore, tiga bulan kemudian, Kang Sarpin muncul di kampung itu. Penampilannya lain dari biasanya. Berpeci hitam, mengenakan kaos oblong yang tampaknya sudah lama tidak bertemu sabun, dan bercelana kolor, serta kakinya hanya beralaskan sendal jepit. Padahal sebelumnya Kang Sarpin selalu berpenampilan gagah. Kemana pun pergi, topi kulit tak pernah lepas dari kepalanya. Tubuhnya yang tinggi besar selalu dibungkus jaket blujin, atau sesekali jaket kulit. Demikian juga celana yang dikenakannya selalu celana blujin juga yang dipadu dengan sepatu lars setinggi lutut. Sedangkan tunggangannya sepeda motor trail keluaran terbaru. Pokoknya Kang Sarpin adalah seorang lelaki gagah dan keren. Sehingga ketika dia muncul kembali dengan penampilan yang jauh berbeda, orang-orang yang melihatnya pun terheran-heran.

Lalu desas-desus tentang Kang Sarpin yang dipeloroti harta, dan sekaligus modal usahanya oleh istri mudanya itupun menyebar ke seantero kampung. Untunglah istri dan ke-empat anaknya yang lama ditinggalkan mau menerimanya kembali. Meskipun konon sebelumnya harus melewati pertengkaran yang cukup menghebohkan tetangga sekitar juga. Malahan diembel-embeli syarat pula. Istrinya mau menerima kembali Kang Sarpin, asal mau merubah kelakukan. Terutama harus mau melaksanakan kewajiban shalat. Apalagi sebagai seorang suami, harus mau memberi contoh yang baik kepada anak-anaknya.

Kang Sarpin pun berjanji kepada istrinya, akan memenuhi syarat yang dimintanya. Tetapi, ketika istrinya melihat Kang Sarpin melaksanakan shalat yang lima waktu selalu di rumah, maka istrinya menyuruh Kang Sarpin untuk shalat di masjid yang tidak jauh dari rumahnya.

Sekali dua kali Kang Sarpin ikut shalat berjamaah di masjid, dirinya selalu merasa ditusuk-tusuk oleh tatapan mata seluruh jamaah masjid itu. Tubuhnya bergidik dan menggigil seperti ketika dia berada di puncak gunung. Sementara telunjuk khatib di atas mimbar terasa menyentuh ujung hidungnya... ***

Gegerbeas, 16/11/2012




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline