Lihat ke Halaman Asli

Adjat R. Sudradjat

TERVERIFIKASI

Panggil saya Kang Adjat saja

Konflik Itu Tidak Mungkin Terjadi Kalau...

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

KONFLIK yang dipicu masalah suku, ras, agama, dan antar-golongan seringkali terjadi, dan seakan-akan  tiada pernah berhenti. Korban jiwa pun tak terhitung lagi akibat dari peristiwa yang sambung-menyambung itu. Homo homini socius sepertinya benar-benar telah berganti menjadi homo homini lupus. Manusia Indonesia telah menjadi serigala bagi manusia Indonesia lainnya,” ungkap Si Akang getir.

Aku terkesiap mendengarnya. Ternyata Si Akang masih ingat dengan ungkapan Filsuf Yunani kuno itu. Lalu,

“Mungkin mereka sudah lupa pelajaran di sekolah tentang Bhineka Tunggal Ika itu, Kang...”

“Padahal kata orang tua, bangsa Indonesia ini memiliki sifat yang ramah, menghormati tetamu yang datang, jujur, dan rendah hati...” sambungku.

“Bahkan kita sebagai urang Sunda memiliki pepatah warisan karuhun (Nenek moyang) yang bunyinya: Kudu bisa pindah cai pindah tampian (Harus bisa mengikuti air mengalir dan tempat pemandian). Yang artinya harus bisa menyesuaikan diri dimanapun kita berada,” timpal Si Akang.

“Betul, Kang. Seperti cerita anaknya tetangga saya yang bertugas di Sulawesi. Di sana bertemu dengan seorang tua warga Sulawesi Selatan. Katanya orang tua itu sampai sekarang masih terkenang dengan perilaku pasukan Siliwangi yang ikut mengamankan pemberotakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar. Menurut  cerita orang tua itu, pasukan Siliwangi yang notabene urang Sunda, tidak bertingkah sok, sebagaimana layaknya serdadu. Melainkan bersikap ramah, bergaul dengan warga setempat mengikuti budaya dan adat-istiadat di tempat itu. Anak-anak diajari membaca dan mengaji. Sedangkan para orang tuanya diajari cara bertani. Malahan yang membuat anak tetangga saya tercengang, orang tua yang asli warga Sulawesi itu dapat bicara bahasa Sunda, dan menyanyikan Mars Siliwangi dengan fasihnya.”

“Ya, seandainya semua suku bangsa, ras, agama, dan antar-golongan di negeri ini mampu bersikap pindah cai pindah tampian, saling tepo seliro, alias tenggang rasa.”

“Sepertinya selain kita semua harus bersikap demikian, pemerintahpun mesti adil palamarta. Karena tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik yang tak ada hentinya itu dipicu oleh kesenjangan sosial yang menimbulkan kecemburuan sosial...”

“Itulah. Jangan seperti sekarang. Pemerintahnya lebih mementingkan diri sendiri dan golongannya, sementara masyarakatnya pun gampang sekali terprovokasi...”

“Demikian juga, ya Kang, masalah perbedaan keyakinan dan agama, mestinya berpegang teguh pada ayat:  agamamu untukmu, dan agamaku untukku... Jangan sekali-kali mencoba untuk mengganggu dan mengusik penganut agama lain ."

"Bagaimana dengan orang yang tidak suka melihat negeri ini aman dan damai?"

"Itulah. Politik Devide et impera, alias adu-domba pun yang dilakukan bangsa lain, atau juga bangsa sendiri yang berjiwa kerdil, patut kita waspadai. Kita semua kudu hati-hati. Jangan mudah terbuai dengan rayuan, jangan mudah terbakar oleh hasutan Malahan kalau perlu, orang yang suka menghasut dan mengadu-domba inilah yang harus dilenyapkan dari negeri ini. Maka sudah tentu akan aman dan damai...”

Amiin...” ***

Gegerbeas, 05/11/2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline