KETUA Majelis Hakim Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) hari ini (20/4) menjatuhkan vonis kepada terdakwa kasus suap Wisma Atlet Jakabaring, Palembang, Muhammad Nazaruddin dengan hukuman penjara 4 tahun 10 bulan, dan denda senilai Rp 200 juta.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider enam bulan bui. Tim Jaksa Penuntut Umum pimpinan I Kadek Wiradana menilai Nazar bersalah menerima suap Rp 4,6 miliar.
Terlepas dari otoritas hakim di pengadilan untuk menentukan fakta yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menetapkan putusan, hakimpun semestinya memperhatikan rasa keadilan bagi seluruh rakyat yang sudah tentu merasa terluka dengan putusan yang begitu ringannya terhadap terdakwa kasus pengemplang uang negara, dan atau rakyat itu.
Sebagaimana seringkali terjadi di negeri ini, seorang terdakwa tindak pidana kasus pencurian seekor ayam saja divonis dengan hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan vonis terhadap Nazaruddin sekarang ini. Padahal pencuri ayam itu melakukan kejahatan karena terdesak oleh kebutuhan untuk menyambung hidup di hari itu saja. Sementara seorang koruptor sekelas Nazaruddin, bukan rahasia lagi kalu bukan untuk menambah pundi-pundi rekeningnya agar lebih bertumpuk lagi.
Tetapi memang itulah kenyataannya. Keadilan di negeri ini warnanya masih samar, kalau tidak disebut gelap dan kelam juga. Apalagi kalau sudah terkait dengan kekuasaan. Rakyat janganlah terlalu banyak berharap.
Malahan seperti kasus yang masih terkait Nazaruddin , penetapan status sebagai tersangka terhadap Angelina Sondakh oleh KPK yang sudah lewat dua bulan lamanya, hingga sekarang tampaknya masih tetap mengambang. Angie belum pernah sekalipun diinterogasi.
Sama halnya dengan kasus Cek Pelawat yang melibatkan mantan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S. Gultom, walaupun yang bersangkutan sudah tetapkan sebagai tersangka, sampai saat ini sama saja belum diperiksa juga.
Sehingga luka yang menggores dalam perasaan rakyat pun berubah menjadi sindiran: Betapa enaknya jadi koruptor. Tak perlu takut dengan hukuman gantung, atau hukuman mati. Karena di negeri ini, korupsi selalu dapat berkompromi dengan penegak hukum yang paling tinggi sekalipun.
Jadi jangankan mempertimbangkan rasa keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia,membedakan maling ayam dan maling duit rakyatpun sudah tidak bisa. Karena kenyataannya, keadilan bagi penegak hukum di Indonesia sudah identik dengan pundi-pundi uang. Bukan lagi rasa kemanusian. Maka koruptorpun dapat melenggang dengan tenang, seakan tidak ada lagi hukuman yang perlu dirisaukan.
Sebagaimana data yang ditemukan ICW, 48 terpidana kasus korupsi masih melenggang bebas. Mereka belum juga dieksekusi oleh Kejaksaan Agung. Sebanyak 25 terpidana korupsi lainnya melarikan diri, sebelum dijebloskan ke dalam bui.
Maka kalau sekarang rakyat disuruh untuk memilih, harus maling ayam atau mending korupsi? sudah tentu pilihan terakhirlah yang akan mereka ambil.
Hanya saja apa yang akan dikorupsi oleh rakyat? ***
Cigupit, 2012/04/20
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H