"Biarkan proses hukum berjalan dan KPK menjalankan tugasnya." Demikian diucapkan Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum yang namanya dikait-kaitkan dengan kasus tindak pidana korupsi Wisma Atlet Jakabaring, Palembang, dan proyek Hambalang.
"Begini, di Partai ada mekanisme dan aturan main, jadi seluruh dinamika partai yang dijalankan sesuai AD/ART dan peraturan serta etika partai" lanjutnya.
"Semua tahu secara objektif, saya bukan terdakwa, bukan tersangka, saksi saja tidak." *
Dari seluruh kalimat yang diucapkan Anas di atas, ada dua hal yang begitu menggelitik dan cukup menarik. Pertama proses hukum, dan yang kedua adalah etika partai, atau dapat juga dikatakan etika politik.
Apa yang dikatakan Anas, bahwa biarkan proses hukum berjalan, sangat kental terkesan jika dirinya setengah mati berlindung pada kalimat "Di balik proses hukum itu". Sementara hukum sendiri, tokh hingga kini jalannya tampak tertatih-tatih, dan boleh dibilang sedang limbung bak kelelahan menanggung "berat'-nya beban. Dan meskipun ia berteriak-teriak tentang etika, tampaknya itu hanyalah sekedar retorika saja. Sebab kalau memang Anas menjunjung tinggi etika (politik), sudah sejak awal ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua umum DPP Partai Demokrat. Karena kenyataannya, Anas jelas-jelas telah melanggar etika.
Apalagi sejak awal, kapal Demokrat yang sekarang dinakhodainya begitu gencar mencitrakan sebagai partai yang ingin memberantas korupsi di Negara ini. Maka sudah seharusnya Anas memiliki tanggung jawab moral terhadap kasus yang saat ini membelit partainya. Kemudian jika memang etika (politik) dijunjung tinggi, konsekuensinya tak lain selain mengundurkan diri. Dan menurut etika, itu merupakan sebuah sikap yang tepat, serta dianggap terhormat.
Sehingga wajar jika media massa mencecarnya terus-terusan, dan para kader Partai Demokrat jadi blingsatan. Bahkan sampai keluar pernyataan untuk memboikot media, disusul kemudian dengan melaporkan dua media televisi ke KPI, yang terkesan mereka (kader)layaknya hilang akal harus berbuat apa – bersikap bagaimana. Semua itu disebabkan ulah seorang Anas yang tidak konsekuen, antara kata dan perbuatannya tidak sama, alias berbeda.
Jauh berbeda dengan yang sering didengar di negeri orang, di Jepang misalnya, apabila seorang ‘petinggi’, menteri, atau juga perdana menteri tersangkut kasus korupsi, maka yang bersangkutan langsung undur diri tanpa reserve lagi. Demikian juga halnya di Eropa sana, sebagaimana dikabarkan Presiden Jerman, Cristian Wulf, yang termasuk seorang politisi muda, gara-gara mendapat kredit rumah dengan bunga yang kecil saja, langsung mengundurkan diri dengan legawa.
Padahal konon katanya seorang Anas gemar olah raga sepak bola. Sedangkan falsafah sepak bola demikian menjungjung tinggi sportifitas. Ataukah jangan-jangan Anas hanya suka sepak bola ala Indonesia. Yang tidak jauh berbeda dengan dirinya (PD), yang dilanda kisruh tak henti-hentinya.
Ataukah memang begitu yang dinamakan demokrasi Pancasila itu? Bicaranya manis dan menarik, sementara kenyataannya demikian naïf? Indah kata dari kenyataan. Menyedihkan memang. Negara yang telah merdeka 66 tahun lamanya, semakin terasa seperti semakin mendekati ajalnya.
*Dari berbagai sumber.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H