Lihat ke Halaman Asli

Adjat R. Sudradjat

TERVERIFIKASI

Panggil saya Kang Adjat saja

Fadli Zon Identik dengan DN Aidit

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Maksud penulis adalah puisi yang ditulis dua orang tersebut. Sungguh. Membaca puisi Waketum Partai Gerindra, Fadli Zon yang berserakan di beberapa media, mengingatkan saya dengan tulisan serupa karya Ketua Comite Central PKI,Dipa Nusantara Aidit, dalam buku Aidit: Dua Wajah Dipa Nusantara, penyusun Tim Buku TEMPO, penerbit Kepustakaan Populer Gramedia.

Coba saja simak:

Raisopopo

aku raisopopo
seperti wayang digerakkan dalang
cerita sejuta harapan
menjual mimpi tanpa kenyataan
berselimut citra fatamorgana
dan kau terkesima

aku raisopopo
menari di gendang tuan
melenggok tanpa tujuan
berjalan dari gang hingga comberan
menabuh genderang blusukan
kadang menumpang bus karatan
diantara banjir dan kemacetan
semua jadi liputan
menyihir dunia maya
dan kau terkesima

aku raisopopo
hanya bisa berkata rapopo

Fadli Zon, 16 April 2014

Sementara karya Pemimpin PKI, DN Aidit:

Raja Naik Mahkota Kecil

Udara hari ini cerah benar

pemuda nyanyi nasakom bersatu

gelak ketawa gadis remaja

mendengar si lalim naik tahta

tapi konon mahkotanya kecil

Ayo, maju terus kawan-kawan

Halau dia ke jaring dan jerat

tangkap dia dan ikat erat

hadapkan dia ke mahkamah rakyat!

Puisi Fadli Zon secara kasat mata ditujukan menyindir seorang Jokowi, sedangkan yang ditulis DN Aidit konon dimaksudkan untuk menyindir Letnan Jenderal Ahmad Yani (Alm.) yang ketika itu diangkat sebagai Kepala Staf angkatan Darat, menggantikan Jenderal Abdul Haris Nasution.

Jenis puisi yang ditulis Fadli zon maupun DN Aidit, termasuk kategori Puisi Pamflet. Disebut puisi pamflet karena bahasanya adalah bahasa pamflet. Kata-katanya mengungkapkan rasa tidak puas kepada keadaan. Munculnya kata-kata yang berisi protes secara spontan tanpa proses pemikiran atau perenungan yang mendalam. Istilah-istilah gagah membela kelompoknya disertai dengan istilah tidak simpatik yang memojokkan pihak yang dikritik.

Dengan kata lain puisi pamflet adalah puisi yang merupakan ungkapan sepihak, sehingga kebenaran sulit diterima secara obyektif. Pihak yang dibela diberikan tempat dan kedudukan yang terhormat dan serba benar, sedang pihak yang dikritik dilukiskan berada dalam posisi yang kurang simpatik.

Apalagi dengan puisi Fadli Zon dan DN Aidit di atas. Kesannya menunjukan ketidaksukaan – atau dengan kata lain: kebencian penulis kepada pihak tertentu. Dalam hal ini Jokowi (Joko Widodo) dan Letjen Ahmad Yani.

Bisa jadi puisi itu muncul dari pergulatan batin sang penulis yang penuh dengan sifat iri dan dengki. Akibat dari persaingan politik pada masanya masing-masing.

Sebagaimana kita ketahui, PKI di era tahun 1965 merasa ‘dihalangi’ langkahnya oleh militer. Dalam hal ini adalah TNI AD. Sehingga DN Aidit ‘terinspirasi’ untuk menggoreskan kebenciannya dalam bentuk puisi. Sama halnya dengan Fadli Zon yang kala itu menjagokan Prabowo Subianto dalam Pilpres kemarin, dan mendapat rival yang dianggap berat – tentu saja, yaitu Jokowi.

Jika ditelaah dari kaidah sastra (Heuheuy deuh!), begitu dangkal memang. Demikian juga dari segi etika, rasanya seorang Fadli Zon dan DN Aidit yang konon didaulat sebagai elit politik (Oleh kader partai dan pengikutnya), terkesan tidak memiliki tatakrama sopan-santun. Dan seolah mengajak kader maupun fans-nya untuk bertindak kasar dan radikal.

Kalau DN Aidit bisa dimaklumi. Karena toh menganut faham komunis, yang konon menghalalkan segala cara. Sedangkan Fadli Zon, selain menganut agama Islam, partai Gerindra yang diurusnya pun ‘kan berasaskan Pancasila.

Atau jangan-jangan Fadli Zon memiliki faham yang sama dengan DN Aidit ?

Entahlah. Saya tak mau berburuk sangka. Tidak baik itu. Saya hanya mencoba membanding-bandingkannya saja. Ketika dua orang politisi menulis puisi. Koq gaya bahasanya sarkas sekali. Sampai mampu menyihir kader-kadernya untuk sama-sama membenci sosok yang dimaksud penulisnya.

Seperti yang terjadi dalam tragedi G-30-S, Letjen Ahmad Yani dibantai beserta lima rekannya plus seorang ajudan Jenderal AH Nasution. Begitu juga dengan yang sekarang terjadi. Kebencian Fadli Zon kepada Jokowi, terbukti jelas sepertinya KMP sedang melakukan aksi 'balas dendam' dengan terbitnya UU MD3 dan UU Pilkada,

Titik. Itu saja. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline