Lihat ke Halaman Asli

Adjat R. Sudradjat

TERVERIFIKASI

Panggil saya Kang Adjat saja

Jokowi Terpuruk Berulang Kali Megawati Sepatutnya Mawas Diri

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimanapun di dalam politik, kekuasaan adalah kemenangan. Bisa jadi hingga saat ini Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri masih sedang ‘menikmati’ eforia kemenangan dalam Pemilu legislatif (9/04/2014), dan Pilpres (9/07/2014) lalu.

Betapa tidak, ketika terjadi “hiruk-pikuk” di parlemen dalam pengambilan keputusan yang menentukan, dan membuat Koalisi  pendukung Presiden terpilih(PDIP, Partai Nasdem, PKB, dan Partai Hanura) Joko Widodo terpuruk berulang kali,  karena kalah suara dari rivalnya, Koalisi Prabowo (Partai Gerindra, Golkar, PAN, PPP, dan PKS), Megawati selaku pucuk pimpinan partai berlogo kepala banteng bermoncong putih itu sepertinya tak pernah mengambil tindakan untuk menyelamatkan muka dari kekalahan yang beruntun itu. Mulai dari terbitnya UU MD3, lalu UU Pilkada, disusul kemudian dengan tak satupun kader dari PDIP maupun Koalisinya mendapat jatah dalam pemilihan paket pimpinan DPR dan MPR.

Semua itu adalah fakta yang tidak terbantahkan lagi memang.  Terlepas dari sosok Megawati yang putri kandung Sang Proklamator, Bung Karno, memang benar beliau pun adalah Presiden perempuan pertama di negeri ini, meski hanya setengah jalan sekalipun (Menyelesaikan tugas Gus Dur yang dimakzulkan).

Perjalanan politiknya mirip dengan seorang Corazon Aquino dari Philipina, atau Benazir Bhuto mantan Perdana Menteri Pakistan. Ya, antara Megawati dengan Corazon Aquino sama-sama berlatar belakang ibu rumahtangga yang jadi sosok perlawanan terhadap tirani pemerintahan di negaranya masing-masing. Sedangkan kesamaannya dengan Benazir Bhuto, keduanya berasal dari keluarga mantan presiden.

Sedangkan yang membedakan Megawati dengan dua sosok tadi, tak lain adalah di dalam sikap belaka. Megawati sejak lama dikenal memiliki sikap yang pasif dan banyak menunggu – kalau tidak disebut kaku juga. Seperti dalam Pemilu 1999, PDIP meraih suara terbanyak. Akan tetapi mengapa justru Gus Dur yang diusung PKB, yang terpilih menjadi Presiden – sedangkan Megawati sendiri hanya mendapat posisi sebagai Wakil Presiden  saat Pilpres yang ketika itu masih dilaksanakan oleh MPR. Padahal peraih suara mayoritas harusnya mampu menentukan.

Akan tetapi begitulah kenyataannya. Karena sebagaimana dikatakan Franz Magnis Soeseno dalam buku Mereka Bicara Mega(Penerbit Yayasan Paragraf, Desember 2008) sikap pasif dan menunggu Megawati adalah suatu kelemahannya. Kalau saja dia bersikap pro aktif, sudah tentu di Pilpres 1999 itu sudah menjadi Presiden.

Suka maupun tidak, oleh dirinya dan kader serta pendukung setia partai yang mengklaim sebagai partai ‘wong cilik’ itu patut diakui, sikap pasif dan menunggu Megawati kembali menelan korban banyak. Sehingga Megawati sudah saatnya bercermin diri. Selain usia sudah semakin berangkat tua, memiliki kelemahan dari sikap yang sudah melekat – dan tidak pantas lagi untuk sosok pemimpin parpol di era sekarang ini, tentu saja, alangkah baiknya untuk menyerahkan secara estafet tongkat kepemimpinan kepada kader mudanya yang dinamis, dan memiliki kepiawaian dalam berkomunikasi. Baik secara internal maupun eksternal.  Karena bagaimanapun mendapat dukungan suara ‘wong cilik’ sebanyak-banyaknya tanpa didukung pemimpin dan elitnya yang ‘trengginas’, maka begitulah toh kenyataannya. Terpuruk dan terpuruk lagi. Sampai 5 – 0 lagi.

Sungguh mengenaskan memang. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline