Lihat ke Halaman Asli

Adjat R. Sudradjat

TERVERIFIKASI

Panggil saya Kang Adjat saja

Timnas Lagi-lagi Terkapar, Siapa yang Jadi Kambing Hitam?

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Timnas kembali bernasib nahas. Dalam babak penyisihan grup piala AFF 2014 di Vietnam baru-baru ini dibekuk Philipina empat goal tanpa  balas. Dalam kasus ini setidaknya rekor timnas yang selama ini tak terkalahkan dari negerinya penyanyi yang melantunkan lagu Denpasar Moon, Maribeth, seketika tumbang. Sungguh menyakitkan memang. Terlebih lagi jalan menuju tangga juara di tingkat Asean yang selama ini menjadi impian, sepertinya semakin terjal dan banyak aral-rintangan.

Pil pahit itu bukan hanya harus ditelan timnas belaka, tentu saja. Seluruh publik pencinta fanatik bola di tanah air pun tidak jauh berbeda. Malahan sepertinya kesedihan ini merupakan rentetan dari kesedihan yang sejak sebelumnya muncul beruntun hampir setiap tahun. Sebagaimana bulan lalu saja, timnas U-19 harus pulang dengan tangan hampa dari kejuaran Asia di Myanmar sana. Padahal saat merebut trophy AFF, dan kemudian menumbangkan salah satu penguasa sepak bola Asia, Korea Selatan, dalam penyisihan grup kejuaraan piala Asia sebelumnya, Evan Dimas seakan memberikan secercah harapan akan bangkitnya persepakbolaan di tanah air tercinta ini.

Akan tetapi kenyataan memang berkata lain. Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Gurat tangan Indonesia  di kancah persepakbolaan tingkat regional, apalagi internasional sepertinya harus selalu bernasib sial.

Padahal, ya padahal semua orang pun sejak dahulu tahu, Indonesia memiliki potensi besar dalam bidang olah raga yang sudah merakyat ini. Orang-orang yang sejak lama malang-melintang dalam kancah persepakbolaan telah berusaha semaksimalnya dengan mencoba bermacam cara untuk mewujudkan harapan supaya sepak bola nasional mampu bicara banyak, alias mencicipi gelar juara di kancah internasional.

Hanya saja harapan itu sampai sekarang belum lagi mampu diwujudkan, dan entah sampai kapan akan menjadi suatu kenyataan. Dan kegagalan demi kegagalan yang ditelanpun sudah seharusnya dicarikan ‘jampi-jampi’ yang ampuh untuk menolak bala-sial, dan sekaligus dtelusuri juga akar penyebab dari nasib sial itu sendiri, mengapa harus terus-menerus dialami.

Kalau menengok ke belakang, sebetulnya timnas Indonesia pernah ‘mencicipi’ manisnya jawara di tingkat Asean memang. dalam ajang Sea Games 1991 di Manila Philipina. Sedangkan sejak digelar kejuaraan AFF sama sekali belum pernah, kecuali hanya sampai merebut peringkat dua saja.  Dan di level Asia paling tidak pernah menorehkan sejarah, dengan merajai berbagai even kejuaran, di era 1960 -1970. Seperti misalnya Turnamen Merdeka tahun 1961, 1962, dan 1969. Kemudian dalam piala Emas Agha Khan 1966, dan piala Raja 1968.

Lalu setelah itu, mengapa grafiknya tidak naik, dan malah justru melorot hingga ke titik nadir. Padahal kalau ditinjau dari perkembangan negara, saat itu Indonesia masih tertatih-tatih, dan baru saja bangkit paska tragedi nasional G 30 S. Sementara saat ini sebetulnya secara sepintas pun sudah banyak bahan penunjang untuk terwujudnya harapan timnas di level internasional.

Apakah karena selama ini sebakbola yang sejatinya merupakan kegiatan olah raga selalu dicampuradukkan dengan kepentingan politik praktis, dan ditambah lagi dengan tangan-tangan ‘mafia sepak bola’ yang hanya mau menangguk untung demi semakin tebalnya kantong celana sendiri, atawa publik sepak bola sendiri yang hingga kini belum juga mampu bersikap dewasa ?

Sepertinya dalam kasus ‘nasib sial’ yang selalu menyelimuti timnas sepak bola selama ini patut direnungkan oleh semua pihak. Tidak usah saling tuding menyalahkan satu dengan yang lain. Sebaiknya masing-masing melakukan instrospeksi diri. Bisa jadi dari tiga pertanyaan di atas pun akan ditemukan jawabannya...

Jika sudah demikian, revolusi mental pun sudah wajib hukumnya untuk dilakukan. Demi kejayaan sepak bola di Indonesia, tentu saja. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline