Gebrakan demi gebrakan pemerintahan Jokowi-JK dalam tempo dua bulan - usai dilantik 20 Oktober lalu, sudah terlihat nyata. Misalnya saja dalam masalah pengurangan subsidi BBM yang diduga cenderung hanya sebagai penghamburan anggaran negara saja, lalu disusul dengan upaya meminimalisisr praktik ilegal fishing yang disinyalir merugikan negara sampai puluhan trilyunan rupiah saban tahunnya, dan terahir adalah penolakan pemberian grasi terhadap terpidana mati kasus narkoba yang memang dianggap merupakan kejahatan luar biasa.
Meskipun belum tuntas, dan memuaskan – karena memang baru dilaksanakan, dan sebagian baru diwacanakan, tentu saja, tapi paling tidak sudah bisa dikatakan merupakan angin segar, bahwa ada kemajuan dari pemerintahan sebelumnya yang dianggap berjalan lamban, dan bisa juga dikatakan stagnan. Bahkan suka maupun tidak, pemerintahan Jokowi-JK memang mendapatkan ‘warisan’ dari pemerintahan sebelumnya berupa ‘seabreg’ beban berbagai permasalahan di segala bidang yang dituntut oleh rakyat harus dituntaskan.
Di bidang hukum saja, selain telah menyatakan penolakan pemberian grasi terhadap terpidana mati, masih tercatat dalam lembaran hitam beberapa kasus besar yang merugikan negara, dan sampai sekarang belum jelas – atau bisa dikatakan terkatung-katung dalam penyelesaiannya. Tiga di antara kasus besar itu adalah mega skandal BLBI yang terjadi di era pemerintahan Megawati, kemudian skandal Bank Century dan Hambalang yang terjadi di era SBY yang sampai sekarang masih jadi bahan pergunjingan.
Dengan tiga skandal di atas saja yang merugikan negara sedemikian besarnya, dan sudah tercatat dalam lembaran hitam sejarah, mampukah pemerintahan jokowi-JK untuk menuntaskannya, terutama mega skandal BLBI yang menyangkut nama Megawati, yang notabene punya andil dalam mengantarkan Jokowi sendiri mulai jadi Walikota Solo, Gubernur DKI Jakarta, dan sekarang sebagai Presiden ketujuh Republik Indonesia ?
Demikian juga halnya dengan kasus Bank Century, berikut megaproyek Hambalang yang terjadi di era pemerintahan SBY. Meskipun sebelumnya sikap SBY yang dianggap mencla-mencle terhadap pemerintahan sekarang, tapi terkait Perpu Pemilukada belakangan ini, SBY pun dianggap telah 'merapat' kepada pemerintah, malahan terlihat begitu mesra. Dan jangan-jangan kemesraan itu akan mengganjal pula terhadap tuntasnya kasus tersebut.
Pertanyaan itu muncul begitu saja, karena bagaimanapun juga di Indonesia ini terkadang politik transaksional, termasuk politik etika balas budi seringkali mengalahkan segala permasalahan lain. Termasuk di dalamnya masalah hukum. Malahan hal itu pun tampaknya sudah menjadi suatu mitos budaya yang sudah berlaku lama di negeri ini.
Bisaj jadi tampaknya hal ini pula yang dianggap tantangan mahabesar bagi seorang Jokowi, apakah Presiden yang satu ini mampu mematahkan ‘mitos’ tersebut, menghindari terjadinya politik transaksional dan ‘balas budi’ yang acapkali dilontarkannya itu menjadi suatu kenyataan, atau malah hanya sebagai wacana – sebagaimana biasa untuk daya tarik bagi konstituennya agar memilih dirinya belaka ?
Entahlah. Keraguan ini bisa jadi akan menggantung – sebagaimana dengan yang pernah dijanjikan Abraham Samad, hari Jum’at (11/7/2004) lalu, bahwa pihak KPK memastikan tidak ada hambatan untuk memeriksa Megawati terkait penerbitan SKL untuk beberapa obligator Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dan sampai sekarang ternyata belum terdengar dilakukan – selama Jokowi sendiri belum mampu membuktikan ucapannya yang begitu ‘keren’ itu.
Sungguh. Rakyat menunggu dengan sangat. Agar bangsa dan negara ini benar-benar berdaulat. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H