Kalian – yang masih muda usia, tentu saja, pasti tak akan mempercayainya, bagaimana rasanya manakala usia seseorang semakin bertambah tua, bahkan ditambah lagi dengan satu kata: renta, dalam hatinya acapkali diselimuti sunyi dan sepi yang sulit dipahami. Bukan, bukan karena pasangan hidupnya, istri atawa suami sudah terlebih dahulu mati misalnya, atawa juga karena anak-anak yang sudah dewasa semuanya, dan sudah berumah tangga pergi meninggalkannya karena masing-masing sudah punya rumah sendiri, dan memiliki pekerjaan di tempat yang jauh darinya. Bukan. Bukan itu masalahnya. Karena kalau dua masalah tersebut, jauh-jauh hari dirinya sudah menyadarinya dengan ‘hukum alam’ itu.
Bahwa kematian adalah suatu suratan yang akan dialami oleh seluruh makhluk hidup di bumi ini. Begitu juga dengan anak-anak yang dilahirkan dari hasil hubungan cinta-kasih sepasang suami-isteri, merupakan suatu yang sudah menjadi keniscayaan bagi setiap orang tua yang hanya memiliki kewajiban untuk membesarkannya – dengan cinta, dan kasih-sayang tentunya. Lalu manakala mereka beranjak dewasa, dan masing-masing mendapatkan pasangan hidupnya, mereka pun akan berumah tangga sendiri. Kemudian mereka pun akan mempersembahkan keturunan, cucu-cucu yang lucu dan manis baginya. Adalah merupakan suatu kebahagiaan tersediri manakala dirinya berkumpul bersama seluruh anak-cucu, dan didampingi oleh pasangannya yang sejak lama mendampingi hidupnya dengan begitu setia.
Tapi kebahagiaan itu pun datangnya hanya sementara saja. Kesunyian kembali menyergapnya seketika. Entah mengapa. Padahal dirinya sedang berada di tengah-tengah keluarga besarnya. Pikirannya juga memang, entah bagaimana di tengah kebahagiaan saat berkumpul dengan keluarga besarnya, terkadang terbang, dan melayang-layang jauh hingga menembus batas nalar. Lalu bila sudah demikian, dirinya merasa berada dalam suasana yang sepi-sunyi, sesunyi-sunyinya. Tubuhnya menggigil bak orang berada di kutub selatan dengan hanya berbalut selembar kain tipis saja layaknya.
Untung saja dirinya sedang berada di tengah keluarga besarnya. Maka melihat kondisi seperti itu, di antara keluarganya ada yang melihat terjadinya perubahan pada dirinya itu. mereka pun buru-buru ‘mengopeninya’. Tak lama kemudian iapun kembali ke alam nyata. Tersadar kembali kalau saat itu dirinya sedang berkumpul dengan seluruh keluarga besarnya.
Sementara bila dirinya kebetulan sedang berada seorang diri, terutama setelah pasangan hidupnya meninggal dunia, dan anak-anak disibukkan oleh kegiatan mereka masing-masing, kemudian pikirannya terbang melayang-layang jauh sampai menembus batas nalar, maka tak disangsikan lagi, tubuhnya pun akan menggigil kedinginan dalam waktu yang tak dapat ditentukan.
Memang ada keinginan dalam hatinya untuk tidak lagi mengalami keadaan seperti itu. Bagaimanapun hidup diselimuti sunyi-sepi terasa sangat menyiksa juga. Hanya saja semakin ia berusaha mati-matian untuk menghindarinya, justru yang terjadi malah sebaliknya. Rasa sunyi-sepi semakin erat mendekap hatinya. Bahkan hatinya seperti dipelintir oleh kekuatan yang mahabesar saja. Dan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit hatinya lepas berjatuhan. Sekarang yang tersisa hanyalah tinggal sepotong saja. Itupun tak menutup kemungkinan suatu ketika akan lepas berjatuhan, dan tercecer entah kemana. Dirinya benar-benar merasa sangat tersiksa. Apalagi di depan matanya tubir sunyi-sepi kian menghalangi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H