Satu jam setelah shalat Jum’at, dalam siang menjelang sore hari yang basah, tampak beberapa sepeda motor berdatangan menuju sebuah bangunan perkantoran. Dari papan nama yang tertera di di bagian atas gedung perkantoran itu tertulis jelas: Kantor Unit Pelaksana Kecamatan (UPK) Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pengendaranya bercampur pria dan perempuan. Ketika itu penulis sedang ada di seberang bangunan perkantoran tersebut. Sepulang dari shalat Jum’at di Masjid terbesar di kota kecamatan itu, di tengah jalan turun hujan yang lebatnya lumayan besar. Sementara di bawah jok sepeda motor sama sekali tak ditemukan sepotong pun jas hujan, sehingga daripada basah-basahan ahirnya diputuskan untuk ikut berteduh di sebuah warung milik seorang kenalan.
Salah seorang pengendara sepeda motor yang berhenti di gedung perkantoran itu tampak melambaikan tangan ke arah penulis. Setelah diperhatikan dengan seksama lewat kacamata tebal, karena rintik hujan yang agak menghalangi pandangan, saya pun sadar. Orang itu bukan siapa-siapa ternyata, tapi Kepala Desa di kampung saya sendiri rupanya. Dan dipanggil dengan nada agak memaksa, saya pun menghampirinya dengan segera.
Kepala Desa dari kampung saya itu ternyata meminta saya untuk ikut menghadiri diskusi yang diselenggarakan di gedung UPK. Kepala Desa mengatakan surat undangan yang diterimanya baru datang tadi pagi. Sehingga tidak sempat untuk mengabari saya, katanya siapa tahu ada bahan yang bisa ditulis dari kegiatan itu. Maka suatu kebetulan juga bila berteduh menunggu hujan reda, saya dipertemukan dengan Kepala Desa, untuk bersama-sama mengikuti acara diskusi di kantor UPK itu.
Ketika kami berdua masuk ke dalam ruangan rapat, tampak para pelaku PNPM Mandiri Perdesaan, yang terdiri dari jajaran BKAD (Badan Kerja sama Antar Desa), pengurus UPK, para Kepala Desa bersama ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa), serta ketua LPMD se-kecamatan sudah hadir semuanya.
Adapun tema diskusi yang akan dibahas, adalah upaya menyelamatkan asset dana bantuan pemerintah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MPd) yang digulirkan sejak tahun 2008. Program yang hadir di era pemerintahan Presiden SBY itu bagaimanapun ibarat anak ayam yang kehilangan induk sekarang ini, semenjak digantikan oleh pemerintahan yang dipimpin Presiden Jokowi.
Sebagaimana diketahui, ada dua jenis dana bantuan untuk masyarakat dari PNPM-MPd tersebut. Yang pertama disebut BLM (Bantuan Langsung Masyarakat), yaitu dana stimulan untuk pembangunan sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Sedangkan yang kedua adalah bantuan dana perguliran kelompok SPP (Simpan Pinjam Perempuan), yang tujuannya untuk membantu permodalan usaha produktif yang dikelola kaum perempuan.
Untuk BLM saja dalam kurun tujuh tahun di sepuluh desa yang ada di wilayah Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat ini masing-masing desa sudah memiliki tujuh sarana dan prasarana yang dibangun melalui program tersebut. Misalnya saja gedung Madrasah Diniyah Taklimiyah, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu), SAB (Sarana Air Bersih), maupun jalan-jalan lingkungan.
[caption id="attachment_340897" align="aligncenter" width="300" caption="Sebuah rumah tidak layak huni (kiri) yang direhabilitasi (Kanan) melalui bantuan dari surplus dana perguliran SPP (dok. Pribadi)"][/caption]
Sementara dana yang ditujukan untuk perguliran SPP (Simpan Pinjam Perempuan) hingga tahun ini tercatat hampir mencapai Rp 4 milyar, dan tersebar di hampir seratusan kelompok perempuan di sepuluh desa yang ada di kecamatan tersebut. Bagi kami, warga pedesaan, uang tersebut begitu besar nilainya. Dan sudah dirasakan manfaatnya oleh kaum perempuan sebagai upaya membantu menambah pendapatan keluarga, melalui usaha produktif yang dikelola bersama kelompoknya.
Sebagaimana biasa, setiap menjelang ahir tahun pengurus UPK memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ) kepada masyarakat melalui forum MAD (Musyawarah Antar Desa). Dan yang menarik dari kegiatan tersebut, salah satu di antaranya adalah surplus dana perguliran SPP di kecamatan ini, di samping untuk menambah modal dana perguliran itu sendiri, juga difokuskan untuk merehabilitasi rumah keluarga jompo, dan rumah tangga keluarga miskin yang ada di desa-desa sekitar. Hal itu mendapat sambutan yang lumayan besar dari berbagai kalangan. Artinya program yang satu ini benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat – terutama mereka yang masih dikategorikan miskin, tentu saja. Bahkan menurut kabar, konon Kabupaten Tasikmalaya ini akan dijadikan proyek percontohan nasional dalam program ‘warisan’ pemerintahan SBY tersebut. Karena mungkin sampai saat ini tidak ada sama sekali ditemukan kasus penyelewengan, atau korupsi dalam program ini, sebagaimana yang kabarnya di daerah lain banyak terjadi.
Sementara sekarang ini yang jadi permasalahan, setelah pergantian pemerintahan, program tersebut oleh peserta diskusi dipertanyakan, akan bagaimana kelanjutan nasibnya di tahun yang akan datang. Apakah akan serupa dengan program-program pemerintah sebelumnya, seperti misalnya JPS PDM-DKE (Jaring Pengamanan Sosial Pemberdayaan Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi) yang diluncurkan pemeritah pada era 1998/1999, yang menguap begitu saja, dan tidak jelas keberadaannya.
Seluruh peserta diskusi sadar, asset hibah pemerintah yang nilainya milyaran rupiah itu harus diselamatkan. Malahan harus dikembangkan, sebagaimana yang diamanatkan: Demi meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, khususnya yang berada di pelosok perdesaan. Malahan di samping aset berupa dana yang bergulir di masyarakat, pengurus UPK yang menempati gedung perkantoran itu pun status kepemilikannya dipertanyakan juga. Gedung berikut tanahnya dibeli dari surplus dana perguliran tersebut. Dan nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Namun bila lembaga yang dibentuk dalam PNPM-MPd itu sendiri, bila tidak ada kelanjutannya setelah pergantian pemerintahan, maka legal-formal dan status hukumnya pun sudah tentu bakal tidak ada kejelasan. Lalu untuk upaya menyelamatkan dana sebesar itupun tidak akan memiliki kekuatan hukum lagi, tentu saja.
Itulah masalahnya.
Memang muncul berbagai usul dan saran dalam diskusi itu. Di antaranya UPK itu diganti saja menjadi PT (Perseroan Terbatas), LKM (Lembaga Keuangan Mikro), atau juga Koperasi. Hanya saja karena dana itu berasal dari bantuan pemerintah, peserta diskusi pun cenderung menunggu petunjuk langsung dari pemerintah yang berkuasa sekarang. Apakah dana milyaran itu akan diselamatkan, atawa akan dibiarkan menguap – menjadi milik kelompok perempuan. Sedangkan sampai sekarang belum seluruh warga (khususnya kaum perempuan) kecamatan itu ikut menikmati dana perguliran tersebut.
Adakah pemerintahan Jokowi menaruh perhatian ? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H