[caption id="attachment_395934" align="aligncenter" width="560" caption="Barisan para Jendral di Polri. (kompas.com/fidel ali)"][/caption]
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyiapkan sejumlah nama calon Kepala Polri (Kapolri) baru untuk diusulkan kepada Presiden Joko Widodo,setelah sebelumnya calon tunggal yang sudah diusulkan Presiden Jokowi, dan mendapat persetujuan DPR, Komjen (Pol) Budi Gunawan dijadikan sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi oleh KPK.
Sebagaimana diketahui, Kompolnas telah menyebutkan empat nama calon Kapolri yang akan disodorkan kepada presiden. Mereka adalah Komisaris Jenderal Budi Waseso, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Badan Pemeliharaan dan Keamanan Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno, dan Inspektur Pengawasan Umum Komisaris Jenderal Dwi Priyatno.
Sebelumnya Kompolnas pun mengajukan mantan Kabareskrim, Komjen Suhardi Alius, namun nama tersebut tiba-tiba dicoretkarena dialihtugaskan menjadi sekretaris Lemhanas. Beredar kabar bahwa Suhardi didepak dari pencalonan karena dituding sebagai pemasok data kasus gratifikasi Budi Gunawan ke KPK. Akan tetapi argumen yang dikemukakan Kompolnas, melalui Anggota Komisi Kepolisian Nasional Edi Saputra Hasibuan, bahwa yang bersangkutan terlalu muda untuk diajukan sebagai calon Kapolri saat ini.
"Kami fokus cari calon Kapolri dari angkatan tahun 1982-1984. Kalau Suhardi angkatan 1985," kata Edi kepada media. Edi pun menegaskan bahwa tak ada sentimen dari Kompolnas kepada Suhardi Alius. Sebagai bukti, Edi memuji prestasi Suhardi Alius. "Beliau pernah jadi Kapolda Jawa Barat dan Kabareskrim, masih muda lagi umurnya," kata dia.
Selanjutnya dari empat nama di atas yang dipersiapkan Kompolnas, ternyata hanya dua nama saja yang dianggap memenuhi syarat sebagai Kapolri. Hal itu diungkapkan pihak Kompolnas sendiri melalui Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala. Mereka adalah Inspektur Pengawasan Umum Polri, Komisaris Jendera Dwi Priyatno, dan Kepala Badan Pemelihara Keamanan Polri, Komisaris Jenderal Putut Eko Bayuseno. Kriminolog UI tersebut menilai Badrodin Haiti dan Budi Waseso memiliki kelemahan. Saat diminta untuk menjelaskannya, Adrianus menolak. "Maaf kami tidak ungkap. Ini eksklusif untuk presiden," ujar Adrianus.
Kompolnas memiliki lima syarat untuk menetapkan calon Kapolri. Mulai dari pangkat komisaris jenderal, menjabat kepala divisi, masa pensiun tersisa dua atau tiga tahun, memimpin kepolisian daerah tipe A dan B, serta angkatan.
Menurut Adrianus, Dwi, Putut, dan Budi Waseso memiliki masa aktif yang lebih lama dibandingkan Wakapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti. Dwi baru dua tahun lagi pensiun, sementara Putut pada 2019 mendatang. "Budi Waseso sampai 2018," ujar Adrianus.
Sedangkan Badrodin, kata Adrianus, masa aktifnya tersisa 17 bulan lagi. Namun karena pertimbangan berbagai hal, Kompolnas tetap memasukkan nama Badrodin. Lebih lanjut Adrianus menjelaskan,Kompolnas memiliki lima syarat untuk menetapkan calon Kapolri. Mulai dari pangkat komisaris jenderal, menjabat kepala divisi, masa pensiun tersisa dua atau tiga tahun, memimpin kepolisian daerah tipe A dan B, serta angkatan. Bisa jadi Budi Waseso pun kelemahannya dalam hal pengalaman memimpin Polda. Sebagaimana diketahui, Budi Waseso pernah menjabat Kapolda Gorontalo yang masuk ketegori Polda tipe B.
Akan tetapi terkait pencoretan nama Suardi Alius dari bursa calon kapolri sebagaimana yang dikatakan Edi Saputra Hasibuan, kemudian dibantah oleh ketua kompolnas, Tedjo Edhy Purdijatno yang notabene menkopolhukam. Soal nama, Tedjo membantah Kompolnas telah mencoret nama Komjen Suhardi Alius sebagai salah satu kandidat kapolri. Menurut dia, Suhardi adalah satu dari lima nama jenderal bintang tiga yang akan diajukan kepada Jokowi sebagai calon kapolri.
Selain itu ada pula yang lebih menarik lagi terkait pencalonan kapolri ini. sebagaimana dikatakan Komisioner Kompolnas M Nasser memastikan penyaringan nama tak melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
Adapun alasan yang dikemukakan Nasser, kedua lembaga karena kedua lembaga itu (KPK dan PPATK) selama ini dianggapnya sudah mengabaikan pihak Kompolnas. Padahal selama ini Kompolnas dan KPK telah terikat sebuah nota kesepahaman kerja. MoU tentang kerja sama kedua institusi tersebut diperbaharui setiap tahunnya. Nasser mengatakan, Pasal 3 dalam MoU itu menyebutkan, Kompolnas dan KPK bisa saling bertukar informasi, terutama hal-hal terkait dengan pemberantasan korupsi, suap, dan gratifikasi.
"Tapi waktu pencalonan Pak Sutarman dulu, kami minta KPK memberikan rekam jejak. Tapi tidak dijawab, itu kan tidak benar," ujar Nasser. Demikian juga pasca-dicopotnya Jenderal Sutarman menjadi Kapolri, Januari 2015 lalu, dan Kompolnas ramai diberitakan bakalan mengusulkan nama calon Kapolri baru. Hal itu tak membuat KPK dan PPATK berinisiatif membantu prosesnya.
Namun lain lagi pernyataan Adrianus yang berbeda dengan pernyataan Nasser di atas. KPK dan PPATK berharap agar dapat bekerja sama dengan Presiden dalam menelusuri rekam jejak para kandidat kepala Polri. Dalam pertemuan yang akan dilakukan Kompolnas dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Adrianus mengatakan, Kompolnas akan menekankan agar Presiden segera menghubungi KPK dan PPATK untuk melakukan klarifikasi.
Menyimak pernyataan dari empat komisioner kompolnas di atas – yang disebarkan oleh media, tentu saja, tampak antara yang satu dengan lainnya terdapat perbedaan pendapat, dan publik pun menjadi kebingungan dibuatnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, pihak terkait – orang yang disebut sebagai kandidat calon kepala polri sendiri kepalanya akan ‘puyeng juga karenanya.Begitu juga Presiden Jokowi pun akan pusing karena hal itu. Bagaimanapun sepertinya antara yang satu dengan lainnya tidak memiliki kekompakan, dan terkesan bukan lagi menyuarakan lembaga, melainkan pernyataan pribadi masing-masing.
Apalagi bila melihat lima persyaratan bagi calon kapolri di atas yang dikemukakan Adrianus, tampak sepertinya hanya hal-hal umum saja, dan tidak menyentuh pada hal yang lebih terkait pada hukum dan moral. Misalnya saja calon kapolri tersebut tidak memiliki rekening gendut yang asal-usulnya mencurigakan, memiliki prestasi yang membanggakan, atawa tepatnya kredibilitas dan kapabelitasnya pun cukup mumpuni sebagai pimpinan suatu lembaga penegak hukum.
Sebab kalau perkara tua dan muda saja yang jadi persoalan, tampaknya hal itu sepertinya tidak masuk akal. Malahan justru secara kasat mata saja, yang muda-muda akan lebih baik daripada yang sudah mendekati masa pensiun. Apalagi kalau berusia masih muda, ditambah lagi dengan memiliki prestasi dan steril dari praktik korupsi. Why not?
Padahal lembaga semacam Kompolnas itu adalah lembaga yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Memiliki tugas antara lain:
- Membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia
- Memberikan pertimbangan Kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri
Sementara kewenangannya meliputi:
- Mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Polri, pengembangan sumber daya manusia Polri , dan pengembangan sarana dan prasarana Polri.
- Memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Polri yang professional dan mandiri.
- Menerima saran dan keluhan masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikan kepada Presiden.
- (Keluhan adalah pengaduan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dugaan korupsi pelayanan yang buruk, perlakuan diskriminasi, dan penggunaan diskresi yang keliru).
Lalu jika menilik tugas Kompolnas pada poin kedua di atas adalah untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri saja keadaannya simpang-siur tanpa kejelasan dan ketegasan seperti saat ini, maka pantas saja Budi Gunawan yang digadang-gadang sebagai calon tunggal kepala Polri pun ahirnya terbelit masalah yang berkepanjangan hingga sekarang, dan tak salah jika Jokowi sendiri pada akhirnya membentuk Tim Sembilan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul kemudian, terjadinya silang-sengkarut antara KPK dengan Polri yang dikatakan publik sebagai kasus “cicak vs buaya 2”. Karena suka maupun tidak, Kompolnas memiliki andil juga dalam munculnya permasalahan tersebut.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi pun perlu kiranya meninjau ulang kembali dalam hal pembentukan para komisioner Kompolnas itu. Sepertinya keberadaan menkopolhukam pun sebagai ketua Kompolnas, apalagi dengan kepemimpinan seperti sosok seorang Tedjo yang kapabelitas dan kredibilitasnya dipertanyakan, di mata publik (rakyat) terkesan tidak transparan, dan cenderung berpihak kepada pemerintah.
Akan lebih bagus lagi jika pembentukan lembaga setingkat Kompolnas, di samping membentuk pansel (panitia seleksi), dijaring melewati uji kepatutan dan kelayakan oleh DPR, juga personilnya pun berasal dari orang-orang yang bersih, jujur, dan independen, alias tidak memiliki keterkaitan maupun keterikatan dengan kepentingan politik sama sekali. Bagaimanapun lembaga kepolisian yang yang menjadi urusan Kompolnas tersebut selama ini mendapat sorotan rakyat sebagai lembaga penegak hukum yang kinerjanya telah diragukan, dan patut dibenahi secara tuntas dan menyeluruh. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H