" Entah apa yang menjadi penyebab utama, setiap kali informasi illegal fishing merebak, setiap kali itu juga warga Desa Jinato Kecamatan Takabonerate Kabupaten Kepulauan Selayar menjadi kambing hitam dan menjadi tertuduh mengarah ke fitnah telah menjadi pelaku " Dalam sepekan terakhir, pasca meninggalnya seorang nelayan penyelam asal Kabupaten Seinjai bernama panggilan Mansyur, di Bunging Belle, zona inti kawasan nasional Takabonerate Selayar, sejumlah nelaya penyelam teripang, dan nelayan bubu serta pemancing ikan hidup di Desa Jinato kembali tidak beraktifitas. Pasalnya tersebar issu didesa tersebut bahwa akan ada patroli dari pihak terkait yang akan menangkap para nelayan yang kemudian terlihat membawa serta kompressor diatas perahunya. karena dinilai atau setidaknya diduga kuat telah melakukan kegiatan illegal fishing atau paling rendah dikenakan pelanggaran perda pelarangan kompressor diwilayah tersebut. Kendati kemudian diketahui bahwa mereka menggunakan alat bantu tersebut sebagai alat bantu pernapasan saat melakukan penyelaman untuk mencari hasil laut secara legal. Ironis memang saat, para nelayan dengan tingkat pendidikan dibawah taraf rata-rata masyarakat Indonesia yang awam sekalipun terhadap sebutan kalimat patroli. Dan lebih ironis lagi disaat mereka para warga nelayan desa Jinato yang kemudian berjuang mencari hidup ditengah ganasnya arus laut yang mengancam jiwa mereka kemudian harus kembali terancam karena mereka akan tertangkap hanya karena berjuang mencari dan membela hidup mereka dan keluarga. Tanpa mereka tahu bahwa sebenarnya apa yang mereka lakukan adalah tidak ada salahnya, kendati kemudian harus pasrah tertuduh salah hanya karena takut pada aparat. Dan ketakutan para nelayan ini, tidak boleh dikaitkan dengan penilaian psikologi tentang rasa takut akan muncul setelah kita tahu telah berbuat salah. Karena ketakutan para nelayan ini, bukan karena rasa salah sebagai pelaku illegal fishing, namun takut karena merasa salah tidak mampu menyediakan segepok lembaran untuk penebus kebodohan dan keluguan serta ketidak tahuan. Ataukan mereka takut bila kemudian peralatan mencari hidup mereka disita dan hilang begitu saja oleh mereka yang pintar dari kota. Dari hasil pantauan kompasianer di desa Jinato beberapa waktu lalu, terlihat ada sejumlah posko dan kantor di tengah tengah pulau Jinato yang dihuni ribuan warga nelayan. Diantaranya Kantor Desa, kantor BPD, Pos Jagawana. Sementara petugas Binmas dari kepolisian dan petugas Binsa dari unsir TNi tidak terlihat ada kantor. Malah selama hampir sepekan di desa ini, ke dua petugas keamanan negara yang bertugas di desa ini tidak berada di tempat. Menurut warga, bahwa kedua bapak ini, boleh dibilang tidak pernah berlama lama menetap. Selanjutnya Kompasianer bertemu seorang sumber yang minta tidak disebut jatidirinya," bahwa terkait kegiatan petugas di desa ini, hanya datang ketika jadwal menyetor dari para punggawa telah tiba". Maksudnya para punggawa ? sumber menyebutkan bahwa punggawa disini adalah mereka yang kemudian membeli hasil tangkapan nelayan, tanpa mengetahui apakah ini hasil kegiatan illegal atau bukan. Misalnya ikan hidup hasil pancing nelayan dijual ke pemilik keramba dan pemilik kapal yang pulang pergi ke kabupaten Bulukumba dan makassar. Bila kemudian punggawa pembeli ikan mati hasil jaring dan panah serta bubu, juga melakukan kegiatan dan aktivitas di kapal es, kadang disebut mereka membom, padahal punggawa ini hanya beli saja. kalau tidak setor maka ikan ikan yang dicurigai hasil bom kemudian dibawa ke selayar untuk diperiksa. Termasuk bila disebut positif hasil bom ikan maka punggawa pun digiring. Namun tidak beberapa hari dikembalikan lagi setelah dimediasi untuk tidak berkasus " . " kalau kami masyarakat nelayan Jinato kemudian dituduh lagi melakukan pemboman dan pembiusan ikan di kawasan Takabonerate, maka kami pun bisa bicara dan bertanya. Kapan, siapa dan siapa yang melihatnya ? kalau petugas yang lihat kenapa tidak ditangkap saja Pak ? ujar seorang warga yang kemudian kesal dengan adanya informasi tersebut. " Selanjutnya dengan lantang meluncur dari bibirnya, bahwa yang bikin kampung ini susah malah mereka para pengaman itu. Lantas kenapa kalau mereka yang menjual bahan bius dan bom kepada nelayan pendatang tidak ditangkap. Eh...enaknya saja mereka mau menuduhkan kelakuannya ke kami rakyat miskin. kami tahu Pak, bahwa mereka dibayar oleh para kapal es pendatang yang ikut parkir di pantai kami, ujar warga yang terkesan marah atas pertanyaan Kompasianer menyangkut tanggapannya mengenai informasi illegal fishing oleh warga Jinato. sambil berlalu dari pantai, warga tadi pamit sambil mengusulkan untuk kelengkapan data dan nama serta lainnya menyangkut illegal fishing ke Pak Binmas" saja Pak, karena semuanya na tahu. Atau ke jagawana saja pak, sekaligus tanya jumlah jatah per sekali musim tangkap. Desa Jinato yang merupakan desa nelayan ditengah tengah kawasan Takabonerate Selayar dihuni oleh ribuan warga. Kebutuhan sembako dan kebutuhan lainnya termasuk kendaraan mereka jual dan beli di Kabupaten Bulukumba dan Sinjai dan Makassar. Tak jarang mereka ke NTT dan Sulawesi Tenggara. Sementara pemerintah mereka berada di Selayar. Bahasa warga asli Jinato pun bukan bahasa Selayar, melainkan bahasa bugis. Untuk kepentingan pendidikan anak anak Jinato, sebagian besar ke makassar dan Sinjai serta Bulukumba, sehingga mereka kemudian sangat heran dan meminta kepada pemerintah kabupaten kepulauan Selayar, agar kebutuhan warga desa ini dapat terpenuhi dari Selayar yang lebih dekat. Bukan malah difitnah dan dan dituduh sementara duiotnya juga disukai buanget, sementara hal kebutuhan warga tidak terpenuhi dari Selayar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H