Lihat ke Halaman Asli

Arsanda Hadriansyah

Seorang Pelajar

Perempuan dan Suara yang (Tidak) Terwakilkan: Fenomena "Unnecessary C-Section" di India

Diperbarui: 21 Desember 2023   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan, dari masa ke masa, selalu menjadi kelompok yang rentan terhadap kekerasan. Kekerasan perempuan dapat terjadi secara verbal dan fisik. Kekerasan tersebut umumnya disebabkan oleh faktor individual dan struktural. Namun, saya merasa memang hampir sepenuhnya adalah dilatarbelakangi oleh sistem dan struktur yang merugikan perempuan. Pembedaan peran gender yang kaku dan penerimaan sumber daya yang tidak merata menyebabkan perempuan menjadi rentan menerima kekerasan. Budaya patriarki yang seolah menjajah juga membangun ketimpangan gender tersebut. Jadi, jika dapat dikatakan, kekerasan terhadap perempuan kuat sekali mengakar karena penyebabnya yang multidimensional tersebut.

Ibarat tumbuhan, budaya patriarki menjadi akar, batang dan rantingnya adalah perbedaan peran gender dan pembagian sumber daya yang timpang, dan daun dan buahnya merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kemudian, ketika kita menumbuhkan tanaman, pastilah kita memberikannya air dan pupuk sebagai nutrisi agar tumbuhan tersebut tumbuh kuat dan berbuah. Begitu pula kolonialisme, ia menjadi pupuk untuk pohon kekerasan terhadap perempuan. Kolonialisme merawat dan menyuburkan kekerasan bagi perempuan, terutama perempuan di dunia ketiga.

Gayatri Spivak, seorang perempuan dari dunia ketiga nampaknya mengamini argumen saya. Seorang India yang memperjuangkan suara yang benar-benar tidak terdengar, meskipun ia diwakilkan. Suara tersebut adalah suara "subaltern". Gumamku waktu itu ketika pertama kali membaca terma tersebut adalah, "sebegitu terpinggirkan kah, menggunakan prefiks 'sub-' dan kata sifat 'altern'". Ya, memang seperti itulah realitanya. Ada kelompok marjinal yang semakin ke terpinggirkan karena mereka tidak bisa bersuara . Suara mereka hanya diwakili. Dalam konteks esai "Can The Subaltern Speak?" (2023), jari Spivak menunjuk ke kepala-kepala para akademisi barat (occident) karena terlalu barat dan tidak betul-betul menggemakan apa yang menjadi jeritan para kelompok terpinggirkan. 

Ia mencontohkan kelompok perempuan India sebagai kelompok marjinal yang semakin marjin keberadaannya karena suaranya selalu diwakili oleh orang yang secara sadar atau tidak mengopresi mereka. Akibatnya, perempuan menderita, dan perempuan yang diceritakan oleh Spivak berujung pilu hidupnya. 

Entah Spivak seorang yang dapat membaca masa depan, tepat di negaranya, terjadi fenomena apa yang dia jabarkan dalam esainya. Perempuan-perempuan di India banyak sekali mengalami kelahiran caesar yang tidak perlu atau bahkan dipaksakan. Kelahiran caesar atau c-section di India memiliki statistik yang mengkhawatirkan. Angka c-section meningkat tinggi dari tahun 2016 (17.2%) hingga tahun 2021 (21,5%) (Mohan et al., 2023). Lebih memprihatinkan lagi ketika membandingkannya dengan angka prevalensi dari WHO, yaitu hanya sebesar 15% (WHO, n.d.). 

Perempuan India yang sebetulnya sehat, dan dapat melahirkan dengan normal atau pervaginam, diarahkan dan dimanipulasi oleh dokter untuk melakukan c-section. Pelaksanaan c-section sendiri bahkan hadir bersamaan dengan intimidasi dan pemaksaan. Kasus ini seringkali terjadi di rumah sakit swasta (Ghosh, 2021). Meskipun begitu, terdapat pula sebagian kasus muncul di rumah sakit milik pemerintah. Kasus ini sarat akan motif ekonomi karena dengan dilakukannya c-section maka akan memberikan keuntungan lebih besar bagi rumah sakit.

Bagaimana perempuan yang menjadi korban? Mereka hanya bisa pasrah mengikuti apa yang menjadi keputusan dokter. Keluarga yang menemani pun tidak bisa berbuat apa-apa karena manipulasi yang dilakukan oleh dokter membuat mereka panik dan menyetujui apa yang dokter katakan. Oleh karena itu, banyak perempuan yang berasal dari kelas sosial bawah dan tidak memiliki sumber daya yang baik dimanipulasi oleh dokter.

Di sini, perempuan betul-betul tidak dapat bersuara dan mengambil keputusan yang adil dan berpihak baginya. Bahkan, sebagai si empunya rahim dan bayi, perempuan tidak dapat memilih apa yang seharusnya bisa ia pilih. Seharusnya ia dapat memilih untuk menolak c-section ketika hal itu tidak perlu. Suara perempuan diwakilkan oleh orang-orang yang mengopresinya, yaitu oknum tenaga kesehatan. 

Mungkin, ketika itu, Spivak berbicara dalam konteks poskolonialisme. Namun, aku merasa bahwa, dalam kasus c-section ini, dokter dan keilmuannya merupakan suatu bentuk kolonialisme yang mencoba untuk menjajah dan membungkam perempuan.

Referensi

Ghosh, A. (2021, November 26). 47.4% babies born in private sector via C-section, far above 14.3% in govt facilities, NFHS shows. ThePrint. Retrieved December 21, 2023, from https://theprint.in/india/21-5-of-all-births-in-india-are-through-c-section-far-above-who-ideal-of-10-15-shows-nfhs/771710/

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline