Lihat ke Halaman Asli

Arsanda Hadriansyah

Seorang Pelajar

Seribu Judul yang Tidak Ada Artinya

Diperbarui: 7 Mei 2020   20:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

steemit.com

Berkaca dari apa yang hangat terjadi saat ini, persoalan drummer punk penganut teori konspirasi bahwa “CoVID-19 adalah salah satu skenario elite global” bisa menjadi bahan diskusi yang komprehensif. Bukan soal “apakah elite global itu ada?”. Bukan pula soal seberapa bahaya Virus Corona. Tetapi tentang bagaimana seni dalam bernalar yang benar sangat penting dalam memandang suatu permasalahan dalam kehidupan kita sehari-sehari.

Saya yakin drummer punk itu adalah orang yang gemar membaca, mungkin sudah ratusan judul yang dia lahap. Melihat bagaimana dia menjelaskan teori apa yang ia anut sangat impresif dan terlihat sangat berapi-api. Hal itu tidak bisa terjadi tanpa adanya informasi yang cukup di dalam pikiran drummer itu. Namun hal itulah yang menjadi polemik disini.

“Quality Over Quantity”

Itu mungkin istilah yang pas untuk menggambarkan persoalan ini. Banyaknya informasi yang didapat dan dilahap tidak menjamin output yang benar. Karena yang lebih penting dari seberapa banyak informasi yang didapat adalah bagaimana ketika kita mengolah informasi tersebut. Lebih baik lagi jika kualitas sebuah informasi itu valid dan saintifik karena hal itu akan memudahkan kita dalam mengolah informasi tersebut.

Di era keterbukaan informasi saat ini, berpikir secara kritis dan saintifik adalah hal wajib dimiliki setiap orang. Karena melihat banyaknya anak muda sampai orang dewasa di Indonesia, sangat banyak yang mempercayai berbagai macam jenis teori konspirasi tanpa berpikir secara kritis. Mereka hanya ikut-ikutan orang lain tanpa mengkritisi dahulu hal-hal tersebut. Mereka cenderung menganggap benar atas apa yang mereka percayai. Hal ini merupakan bias yang sering kita temui di masyarakat, yaitu bias konfirmasi.

Bias ini akan “menyerang” seseorang yang mengambil kesimpulan secara induktif berdasarkan atas apa yang mereka percayai atau pengalaman pribadi mereka. Biasanya bias ini bisa di ruang lingkup politik, agama, dan sains. 

Mengingatkan kembali ketika pilpres tahun 2019, yang dimana kedua kubu saling klaim kemenangan mereka sebelum pengumuman resmi dari KPI. Klaim mereka didasari oleh survey-survey yang dimana ada pula survey internal mereka sendiri.

Seseorang yang memiliki bias konfirmasi ini sangat “berbahaya” jika dibiarkan dalam jumlah yang banyak. Contohnya pada kasus konspirasi CoVID-19 ini, banyak sekali yang percaya bahwa virus ini tidak berbahaya dan mereka yang percaya beranggapan bahwa tak perlu takut untuk beraktivitas seperti biasanya. Hal ini dapat menyebabkan miskonsepsi yang berakibat fatal pada keselamatan orang lain. Efeknya, kita makin lama untuk mengakhiri persoalan “Corona” ini.

Teori konspirasi juga menjadi pilihan bagi orang yang tidak atau belum memiliki jawaban atas suatu permasalahan. Lalu bagaimana kita menemukan jawaban atas sebuah permasalahan? Ya tentunya dengan berpikir secara kritis dan saintifik. Dengan begitu, kita terhindar dari bias-bias dalam berpikir.

Seribu judul tak menjamin kamu adalah orang yang cerdas. Karena berwawasan luas dan berpikir kritis adalah suatu hal yang berbeda. Mulailah mencoba berpikir kritis, dengan mengolah setiap informasi yang masuk ke otak sesuai dengan kaidah berlogika. Biasakan melihat suatu permasalahan dalam berbagai macam kacamata ilmu pengetahuan, dengan begitu pelan tapi pasti jawaban atas satu masalah akan muncul kepermukaan. Lepaskan segala emosi dan mulai menyikapi masalah dengan nalar yang objektif.

Jadi, anda yang menentukan tetap percaya akan narasi “elite global” atau mulai berpikir secara rasional? Tak apa berbeda, kita masih bisa berteman, kok.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline