Lihat ke Halaman Asli

Fenomena Mencampur Bahasa oleh Anak Milenial? Begini Penjelasannya

Diperbarui: 4 Oktober 2021   01:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dilansir dari www.twitter.com

Dalam era ini mungkin sering kali kita mendengar pencampuran dua bahasa antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam cara berkomunikasi sehari-hari. Pencampuran bahasa ini identik dengan anak milenial, atau bahkan kita sendiri sering menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa orang berpendapat fenomena ini baik karena menunjukkan kemampuan seseorang dalam segi multibahasa, namun ada yang mengatakan ini tidak baik dalam komunikasi interpersonal karena merusak tatanan bahasa yang baik dan benar saat berbicara.

Fenomena ini menunjukkan adanya hal yang tidak bisa dihindari dalam proses perkembangan bahasa dalam era ini. Terdapat dua macam proses perubahan bahasa, yakni perubahan internal yang dikarenakan sistem gramatiknya dan perubahan eksternal yang diakibatkan karena datangnya pengaruh bahasa lain (Poedjosoedarmo, 2009). Oleh karena itu fenomena ini terjadi karena masuknya pengaruh bahasa Inggris dalam kehidupan mereka. Gaya berbahasa ini sangat tren dalam lingkungan anak milenial karena digunakan dalam komunikasi sehari-harinya. Sebagian dari mereka menggunakan bahasa ini di tempat kerja, lingkungan pendidikan, tempat tongkrong, dan media sosial.

Fenomena pencampuran bahasa ini sebenarnya sudah ada sejak dulu dan dipelajari dalam salah satu cabang ilmu bahasa, yaitu sosiolinguistik. Saat berkomunikasi, seorang komunikator mungkin mengalami kesulitan dalam mengungkapkan maksud dan perasaannya. Jadi agar komunikasi lebih efektif, ia merasa perlu mencampur dua bahasa (code mixing) atau beralih menggunakan bahasa lain (code switching). Code mixing merupakan dua bahasa yang dipakai dalam satu kalimat dimana tata bahasa dan leksikal tidak ada dalam topik (Muysken, 2000). Hal ini sering terjadi terutama dalam masyarakat multilingual, contohnya orang Indonesia yang berkaitan dengan beragam bahasa, yaitu bahasa daerah, bahasa nasional, dan bahasa asing terutama bahasa Inggris sebagai bahasa internasional.

Ada sejumlah alasan mengapa saat berbicara, beberapa orang suka menggunakan dua bahasa tersebut. Pertama, sulitnya menemukan padanan kata dalam bahasa Indonesia yang usianya masih cukup terbilang muda dibandingkan bahasa Inggris. Kedua, maraknya sekolah dengan kurikulum internasional atau nasional yang memang dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Inggris baik dalam pelajaran maupun pergaulan di sekolah (Vera, 2018). Faktanya terdapat juga bahasa inggris yang di-Indonesia-kan karena tidak ada padanannya. Situasi ini membuat sebagian orang merasa lebih mudah mengekspresikan maksudnya lewat bahasa Inggris.

Terdapat faktor psikologis yang menjelaskan mengapa gaya bahasa ini cenderung digunakan oleh anak milenial. hal tersebut dapat terjadi dikarenakan tren yang diikuti anak-anak remaja agar mereka tetap diterima dalam kelompok sosialnya. Mengikuti tren tertentu adalah sesuatu yang wajar terjadi, khususnya di masa perkembangan remaja karena hal tersebut merupakan bagian dari pembentukan jati diri mereka (Vera, 2018).

Menurut salah satu psikolog klinis dari Personal Growth, Veronica Adesla berpendapat bahwa gaya bahasa dalam komunikasi sehari-hari dipengaruhi oleh lingkungan. Baik lingkungan keluarga, pertemanan, dan di sekolah. Ketika seorang anak sejak dini terbiasa untuk diajak bicara dengan bahasa Inggris bercampur dengan bahasa Indonesia secara tidak konsisten, maka hal ini akan terus terbawa dalam percakapan sehari-hari juga. Terlepas dari gaya berbahasa, yang terpenting dalam berkomunikasi ialah keefektifan pesan. Semua bahasa tentu baik digunakan selama komunikan dapat menangkap apa yang dimaksud oleh komunikator.

Selanjutnya, salah satu orang asing di Indonesia, yakni Dennis memandang pencampuran bahasa ini bukanlah sebagai sebuah masalah besar. Dennis menganggap dalam fenomena ini orang-orang menggunakannya untuk bersenang-senang, lifestyle, pergaulan, dan melatih keberanian mereka untuk berbicara. Ia menyetujui bahwa soal mencampur dua bahasa ini mempunyai nilai yang positif. Salah satunya ialah meningkatkan keberanian untuk berbicara dalam bahasa Inggris. Keberanian orang Indonesia untuk bicara bahasa Inggris dengan orang asing masih jadi kendala utama sebagian masyarakat. Kebanyakan dari mereka takut dengan tata bahasa yang salah atau kosa kata yang terbatas. Bahasa Inggris sampai saat ini masih menduduki peringkat sebagai bahasa yang paling banyak digunakan di dunia dalam berbagai aspek termasuk di internet (Crystal, 2012).

Kemudian, salah satu seorang warga yang tinggal di Jakarta sekaligus lahir dan besar di kota tersebut, yaitu Jerome Wirawan menuturkan bahwa tren berbicara bahasa yang dicampur dengan bahasa Inggris tidak ditemui saat ia masih sekolah pada tahun 1980-an. Bahasa Inggris mulai dipelajari pada sekolah menengah pertama dan bukan di sekolah dasar.

Oleh karena itu, tugas guru atau generasi sebelumnya adalah menjelaskan bahwa anak muda harus mampu membedakan konteks penggunaan bahasa dalam berkomunikasi. Dalam konteks apa dan kapan bahasa standar harus digunakan, dan kapan penggunaan slang disisipkan dengan bahasa asing, seperti bahasa Inggris. Terlepas dari itu, seseorang harus bisa memahami siapa lawan bicaranya, dari kalangan mana ia berada, dan gaya bahasa yang ia pakai dalam komunikasi sehari-hari. Penulis mengangkat tema ini karena hal ini berkaitan dengan komunikasi interpersonal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline