Kemarin dan hari ini ada yang menarik perhatian publik. Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo yang juga Walikota Solo kembali menjadi trending topik di kanal berbagai media.
Ternyata petugas parkir...
Kirain petugas par....Colek @gibran_tweet pic.twitter.com/1jw2sjP8lG--- Yenny Zannuba Wahid (@yennywahid) August 18, 2023
Bertepatan memperingati 78 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, Mas Wali (biasa disapa) memakai seragam juru parkir (jukir). Menariknya, di belakang bagian seragam jelas tertulis dan terbaca "Petugas Parkir".
Kontan saja netizen langsung mengaitkan dan membandingkan dengan "Petugas Partai". Dua kata yang sering digaungkan Megawati Soekarnoputri untuk mengingatkan status kader PDI-P yang telah duduk di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sebagai kader PDI-P, Presiden Joko Widodo dan Mas Wali juga pernah kena semprot. Menandakan dan menegaskan bahwa status mereka tidak lepas dari peran PDI-P sehingga harus "tunduk" pada ketentuan partai berlambang moncong putih.
Pak Jokowi dan Mas Wali tetaplah "Petugas Partai". Apapun statusnya yang melabeli mereka berdua.
Bagi Pak Jokowi (sapaan akrab Presiden Joko Widodo) dan Mas Wali, kata petugas partai seakan membatasi hak dan kewenangan dalam menjalankan amanah pemilihnya, menggerus status dan kewibawaan sebagai seorang pemimpin yang dicintai rakyat.
Masyarakat luas juga membaca gelagat "jeruji kedaulatan" ini. Sehingga ruang kepemilikan mereka terhadap pemimpinnya merasa diusik. Mengapa? Sebab Pak Jokowi dan Mas Wali bukan sekedar "petugas partai", tetapi sudah menjadi milik masyarakat dalam lingkup kedaulatan yang lebih luas.
Dari sisi kepentingan politik PDI-P, pandangan petugas partai mungkin bisa dibenarkan. Akan tetapi, apakah masyarakat luas juga berpendapat sama benar? Tentu tidak dan bukan lagi pada konteksnya untuk status kepemimpinan nasional dan regional.