Pagi ini engkau menyambutku
Aku tersenyum, dan kuajak kau duduk di sampingku
Agar tetap memberi sinar, pada mata pena
Seperti biasanya
Sebelum aku menyapa bidadari dan bidadaraku
Di surga itu
Kita bercakap-cakap berdua
Menanyakan keadilan yang masih….
Susah dipegang ekornya, kataku
Sedang kau minta langsung penggal kepala
Seperti biasa, kita mulai berdebat
Memanaskan mesin kepagian
Lalu kau diam
Aku pun diam, sesaat
Baiklah, kita perlu bermusyawarah
Untuk mencapai mufakat, mencari jalan tengah
Lalu kita menertawakan hasilnya
Jalan tengah, gampang didapat, hahahaha….
Kita diam lagi. Kita buntu lagi
Di saat buntu, datang bidadari kecilku
Engkau menyelinap di hatiku
Bukan untuk sembunyi, melainkan memasang telinga
Seperti yang sudah-sudah
Membuatku jengkel, seringkali
Bidadari kecilku
Meniupkan kabar dari bibirnya nan mungil
Katanya, ada berandal di surgaku
Berandal kambuhan
Yang biasa, obrak-abrik surgaku
Porak-poranda rasaku
Aku diam, berusaha menahan dentuman magma
Yang sudah meletup-letup di dalam dada
Engkau tiba-tiba menyembul
Menyumpal telinga kanan
Dan lantang menabuh gendang telinga
Menjelma tetabuhan gendang perang, menyeponggang
Aku berdiri serupa panglima perang
Bergegas merangsek ke surga itu
Sedang kau, mengajak para setan dan iblis
Menghimpun kekuatan amarah, di ubun-ubunku
Andai saja malam, gendruwo dan banaspati
Pastinya kau himpun juga, hhhh….
Di surga itu, berandal sebiji kacang
Kuhantam dengan orasi Singa Afrika
Segenap mata, nyalang menatapku
Api amarahku, seketika berkobar-kobar
Membombardir dengan warna merah
Semerah wajah yang tak bisa dipadamkan
Tiba-tiba….
Bidadari kecilku lirih membacakan puisi
“Selamat Ulang Tahun, Pak Guru”
Hening. Hanya itu yang kurasa
Kulihat, engkau menelusup
Di tempat biasamu
Pojok Kenangan. Untuk Siska dkk., 17.11.lupa tahunnya :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H