Purnama. Saat bulan bulat sempurna. Malam ini, kembali datang sesuai janjinya. Tanpa diikuti awan-awan yang bergelantungan di atap langit.
Sekitar jam sembilan malam, sinar purnama semakin terang. Menyinari kegelapan. Menembus rimbun pepohonan dan dedaunan. Membentuk rupa semu makhluk-makhluk astral.
Sebuah rumah joglo. Rumah kuno yang cukup besar. Dikelilingi kebun kopi cukup luas. Berpagar batu bata merah. Berlumut, hampir di tiap sudut. Teguh mematung. Menikmati sapa dewi malam.
Di beranda, sepasang suami istri duduk berjarak dan bersebelahan. Dua orang tua, tengah menikmati malam dengan pikirannya masing-masing.
Sang lelaki lebih memperhatikan kepulan asap. Meluncur dari bibir keriput. Bibir yang masih kecanduan rokok linting. Gemeratap diantara bunyi cengkeh. Terbakar bersama gulungan tembakau, seukuran jempol tangan.
“Nem. Bicaralah, jangan diam terus sedari tadi”
Painem masih terdiam. Wajahnya tengadah. Kembali memandang tajam bulan bulat sempurna. Paijo menghela napas dalam-dalam. Menghembuskan perlahan. Tanpa sedikitpun suara terdengar.
“Andaikan saja….”
Paijo kembali mencoba memancing kebekuan. Namun, hanya suara burung malam yang terdengar. Sekilas dan kembali beku.
***
“Andaikan kenapa Bapak?”