“Bagaimana?” Tanyaku singkat.
Belum ada sepatah katapun ke luar dari bibir manis istriku. Mata indahnya kembali memandang hamparan sawah. Membentang luas di sebelah kiri tanah kavling yang sudah terkotak-kotak rapi. Kembali mata indah itu menatap tajam, ke arah beberapa pohon jati. Pohon yang sengaja ditanam oleh pemilik tanah kavling, sekitar tiga puluh meter dari tanah kavlingku.
“Baiklah, Mas” Jawabnya datar.
Akhirnya, jawaban yang aku harapkan meluncur juga. Diselingi tatapan tajam menghunjam. Tepat ke arahku. Aku menggenggam tangannya. Terasa hawa hangat menjalar perlahan. Menimpali angin dingin yang juga usil menggoda.
“Besok akan kubuat jalan masuk. Butuh lima cor gorong-gorong agar material bangunan bisa masuk ke tanah kavling kita”
“Terserah Mas. Aku hanya berdo’a. Semoga semuanya lancar dan tidak ada aral melintang”
Aku mengajaknya pulang. Tetapi, istriku tidak segera menurut. Ada sesuatu yang masih menggelayut di keningnya. Pandangannya seakan kembali kosong. Hanya hamparan sawah yang masih ia tatap tanpa kedip.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa, Mas”
“Ya sudah. Ayo kita pulang. Mumpung suara Azan Maghrib belum berkumandang”
****