Lihat ke Halaman Asli

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 1 - Tujuh & Delapan

Diperbarui: 24 Juni 2015   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Tujuh

~ Cinderella di Cicadas ~

Bandung kala itu usai dilanda musim hujan paling mengerikan selama lebih dari sebulan, padahal seharusnya sudah masuk kemarau. Deras hujan tercurah seakan hampir sama seperti hujannya zaman Nabi Nuh. Jika saja hujan tak reda tiga hari berturut-turut, Bandung yang cekung seperti mangkuk dapat saja tergenang lalu tenggelam. Entah, serupa azab dari Allah sebab kemaksiatan merajalela. Atau mungkin hanya anomali cuaca yang terjadi setiap kurun waktu tertentu.

Manakala hujan reda untuk beberapa jam, udara lebih dingin menusuk tulang, sebanding sepertiga dingin kutub utara. Tiang-tiang jemuran dan lapak-lapak kayu pedagang pasar Cicadas terasa beku dalam sentuhan. Dalam seminggu, hanya satu hari tak hujan. Kadang Sabtu, kadang hari Selasa, sisanya, hari-hari tak luput diguyur hujan. Kelembapannya membuat barang-barang mudah rusak, terutama buah dan sayuran menjadi cepat busuk. Kayu-kayu bercendawan. Jalanan berlubang banyak digenangi. Air pekat bercampur limbah bau menyengat meluap dari saluran got yang tersumbat. Aroma lembap dan busuk berseliweran.

Salah satu kerabat Abah bersedia menampungnya, paling tidak, hingga keadaan desa tenang dan masyarakat dapat menerima kehadiran Asih lagi. Rumah Eman -adik sepupu Abah, dipilih sebagai pengungsian sementara sebelum menemukan tempat lain yang lebih baik. Dari desa yang tenang pindah ke kota. Cicadas sebenarnya tidak lebih aman dan nyaman dari pada kaki Gunung Galunggung. Itu serupa memindahkan Asih dari kandang harimau ke kandang serigala. Tapi, Abah punya pertimbangan lain.

Di tempat itu, bagi yang lemah, sangat riskan menjadi korban. Tapi untuk pendatang seperti Asih yang terbuang, masyarakatnya lebih terbuka. Sebagian tetangga tahu Asih hamil dan belum menikah. Keluarga Eman merasa tak perlu menyembunyikan apapun mengenai Asih, termasuk sisi kelamnya. Walau ditutup-tutupi, suatu saat akan diketahui juga. Tanpa disengaja, opini tetangga segera terbentuk bahwa Asih korban pergaulan bebas, belum kawin lantaran lelaki yang menghamilinya kabur tak mau bertanggungjawab.

Di tempat baru itu, Asih tak mudah cepat bergaul akrab dengan warga lain. Belum banyak tetangga dia kenal. Orang-orang di tempat itu acuh tak acuh. Tidak terang-terangan menyambut, juga tidak terang-terangan menolak keberadaan Asih. Seolah label nista atas keadaan Asih tidak terlalu dipermasalahkan dan sudah mafhum, daerah itu terbuka, terbuka menerima buangan para pendosa, penjahat dan siapapun yang merasa tidak ragu atau malu mempertunjukkan kemaksiatan, kecurangan dan ketidaklayakan lainnya. Daerah itu terbuka bagi siapa saja yang ingin tinggal dan membiasakan diri dengan kesemrawutan.

Walau terkesan tidak peduli, tak ambil pusing, tapi orang-orang di sana dipenuhi kecurigaan. Omongan, penglihatan, bahkan impian orang-orang baru akan dicurigai. Mata mereka senantiasa waspada terhadap ancaman yang akan ditimbulkan pendatang.

Bagi Asih, awal-awal, keindahan kota itu, tak lebih dari samaran, sesungguhnya adalah belantara diselimuti bangunan-bangunan urban. Sebagian penghuni ibarat hewan-hewan yang menyamar menjadi manusia, dengan bahasa dan tingkah laku menyerupai manusia.

Eman juga jelmaan hewan, dari jenis srigala. Dia dapat bersikap manis jika perutnya kenyang dan menjadi buas manakala kelaparan. Eman lebih tepatnya manusia serigala, bukan binatang seutuhnya, karena dia masih punya rasa malu dan iba. Yang menjinakkannya adalah rasa memiliki banyak utang budi pada keluarga Asih. Alasan itu yang menjadi sebab Eman dan keluarganya bersedia menerima Asih. Selain itu, keluarga Eman tidak akan sudi menerima orang baru menumpang di rumahnya, meski itu masih kerabat.

Awalnya Eman memperlakukan Asih bak putri raja. Keluarganya iri dengan perhatian Eman pada Asih yang sering dinilai berlebihan. Tapi perlakuan itu tak lama, hanya enam hari. Lepas itu, Eman tak membiarkan Asih tinggal dengan enaknya. Tak peduli sedang mengandung, manusia srigala itu memperlakukan Asih tak ubah pembantu. Berbagai pekerjaan dari mencuci, masak, membersihkan rumah, hingga pekerjaan sedikit berat yang lazim dilakukan pria dewasa dikerjakan Asih. Tak ada yang gratis di sana, harus mau bekerja, itu sebagai bunga yang harus dibayar Asih saat menumpang di rumah Eman. Sang puteri itu kembali menjadi Cinderela.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline