Lihat ke Halaman Asli

Rindu Itu Koma: Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 3 Empat Puluh Satu - Empat Puluh Dua

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Empat Puluh Satu

~ Mencicipi Kegagalan ~

Koma terjaga mendengar kegaduhan khas terminal, suara kondektur, calo-calo bus dan para pedagang asongan yang menawarkan barang dagangannya. Bus sampai di Terminal Leuwi Panjang, Kota Bandung. Koma tak ingat di kota ini dia dilahirkan dan pernah tinggal lama. Segala kehidupan di ibukota bersama keberuntungan, dan oleh keberuntungan pula ingatan tentang Pasar Cicadas dan Ujung Berung disembunyikan rapat. Tak satu pun yang diingat tentang Kota Bandung. Hanya cuaca dan beberapa suara di sana pernah terlintas dalam telinga seolah begitu dikenal, namun teramat sulit untuk dia identifikasi.

Semua penumpang sudah turun, tinggal Koma yang masih duduk terpaku dengan pikiran melayang tak tahu harus kemana dan melakukan apa. Yang dia tahu hanya harus segera memulai sesuatu yang dapat membuat keberuntungan tak lagi mengikutinya. Dan yang paling pertama disadari dan harus dilakukan adalah mencari makan, lapar sudah memberontak dalam perutnya. Koma lekas turun dari bus lalu mencari kedai makan di sekitar terminal. Sejak terbangun, yang terkungkung di pikirannya hanya tanya bagaimana cara dan apa yang harus dilakukan agar bisa segera menghindar dan lepas dari keberuntungan.

***

Lepas makan, langkah pertama yang tercetus Koma adalah mencari seseorang yang bersedia menampungnya, bersedia diikuti, bersedia direpotkan, bersedia menerima sebagai anak angkatnya, dan bersedia membantu dia menghindar dari keberuntungan. Juga bersedia membantunya segera mencicipi "kesulitan" dan "kegagalan".

"Bu, saya baru datang dari Jakarta. Di sini saya tak punya siapa-siapa. Apa ibu bersedia menampung saya? Apa ibu mau mempekerjakan saya bantu-bantu di warung ini. Biar tidak dibayar juga, asal dapat makan saja sudah cukup. Apa ibu juga bisa membantu saya menemukan kegagalan?" kata Koma pada perempuan pemilik warung makan itu.

Sang pemilik warung heran, dengan ujug-ujug ada bocah yang mengungkapkan keinginan anehnya. Tentu saja dia tak bersedia menampung Koma, apalagi mempekerjakannya. Pikir sang pemilik warung, takkan banyak untungnya menampung dan mempekerjakan bocah. Apalagi, dia tahu bocah yang tumbuh di jalanan tidak semanis bocah yang tumbuh di rumah.

"Ah, burung sugan budak teh," penjaga warung ketus setengah mengusir.

Pada seorang sopir bus, Koma menyampaikan keinginan untuk menjadi anak angkatnya, menjadi bagian perjalanan bus kemana pun tujuan trayek. Koma meminta agar bisa ditampung di rumah sang supir, tak lupa mengungkapkan niatnya untuk menjalankan program menghindari keberuntungan dan mencicipi kesulitan beserta kegagalan.

Sang sopir menolak mentah-mentah. Membawa Koma tinggal, sama saja dengan membawa satu lagi sumber penderitaan. Sang sopir sudah merasa empat orang anaknya saja adalah sumber penderitaan, apalagi ditambah satu, seorang anak yang tak jelas asal-usul, dan tak jelas masa depannya. Sang sopir saja belum yakin apa anak-anaknya mampu mengganti penderitaannya dengan  kesenangan, serupa balas budi. Tak ada yang gratis di dunia ini. Kasih sayang ayah kepada anak-anaknya pun sesungguhnya tidak gratis. Kelak, kalau ayah sudah tua dan anak sudah dewasa, anak-anak harus membayar utangnya dengan merawat dan memberikan kesenangan di hari tua sang ayah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline