Yang terhormat,
Bapak Presiden
Salam sejahtera Pak Pres. Doa saya buat bapak, semoga bapak sehat selalu dan memimpin bangsa ini dengan sebaik-baiknya.
Berhubungan dengan trend surat terbuka khususon buat bapak, saya pun tergiur ikut-ikutan. Tapi tenang saja, surat dari saya tidak akan terlalu panjang, sebab saya kasihan, khawatir bapak galau atau tak punya cukup waktu buat baca sebegitu banyaknya surat terbuka yang ditujukan pada bapak.
Pak Pres, katakanlah Anda ibaratnya bapaknya bangsa ini. Jadi, saya sebagai rakyat Indonesia, katakanlah sebagai anaknya Bapak. Maka, tak berlebihan kan kalau anak mengadu pada bapaknya? Untuk itu surat terbuka ini boleh pula dianggap surat pengaduan. Kalau mungkin seperti somasi, ah saya buta hukum dan tak punya keberanian.
Sebelumnya, perkenalkan Pak Pres, saya seorang warganegara biasa, yang sedari lengsernya ORBA bertepatan dengan masa akil balig, saya cuek dan apatis pada fenomena apapun mengenai bangsa ini, sampai waktu-waktu dekat ini. Bisa dikatakan saya anak bapak yang “lempeng-lempeng” saja. Saya cuek dan apatis pada wacana politik, ekonomi, pemerintahan, hampir keseluruhan riuh-riuhnya dinamika bangsa ini saya cuek-cuek saja Pak. Tapi, pilpres 2014 kemarin saya ikut partisipasi lho Pak, soal pilihan saya coblos gambar bapak atau tidak, itu rahasia saya, sebagaimana pakem pemilu yang LUBER. Saya iktu nyoblos iseng saja pak, ingin coba ikut merasakan atmospir TPS, sebab pilpres langsung sebelumnya kurang lebih 3x pilpres, saya golput.
Bahkan di era sosmed saat ini, sebut saja anak bapak ini setia jadi “silent reader”, thok. Dan tak usah khawatir, Pak Pres, saya rakyat biasa yang tidak popular. Juga perlu diingat oleh Bapak, saya tak bermaksud cari sensasi dengan surat terbuka atau semacam surat pengaduan ini Pak Pres. Sekali lagi, saya orangnya cuek dan apatis, bahkan cuek terhadap pencitraan diri saya sendiri pun. Jadi, agaknya tak berpengaruh banyak. Kalaupun ini jadi ramai, saya masih sangsi apakah sensasi spektakuler ini bawa dampak menguntungkan bagi saya. Saya tak punya massa, dan tidak mengatasnamakan kelompok manapun. Juga tak ada sangkut pautnya dengan “panastak” maupun “panasbung”. Saya murni saja sebagai anak negeri ini yang cuek dengan perkembangan bangsa ini. Mungkin sebentar lagi saya tidak secuek sebelumnya, ditandai dengan ikut-ikutan bikin surat terbuka ini.
Begini Pak Pres, kan selama ini saya cuek, malah apatis terhadap perkembangan bangsa ini. Sejak Bapak di Solo hingga di Ibukota, orang-orang ramai memuja, mengkritik, hingga menghujat Bapak, saya cuek saja. Apapun kebijakan, baik yang popular maupun yang tak disenangi kebanyakan rakyat, saya cuek dan apatis. Walaupun, saya ikut merasakan imbasnya.
Nah, Pak Pres, Saya mengadukan perubahan di diri saya, yang tadinya cuek apatis berangsur jadi pendumel. Entah Pak Pres akan merespon dengan senyuman khas Bapak, atau apapun itu, tapi begitulah sisi kecuekan saya mengadukan perubahan di diri saya ini. Sekali lagi, sebagai penegasan, saya mengadukan perubahan, saya jadi banyak ngedumel. Saya berubah jadi pendumel.
Musababnya saya menjadipendumel, karena terpengaruh kebanyakan warga Indonesia Pak Pres. Makin banyak saja warga Bapak yang ngedumel tentang kenaikan harga bbm lah, harga-harga naik lah, tariff-tarif naik lah, hidup semakin susah lah, usaha makin seret lah, tentang keaamanan lah, diskriminasi lah, halahh.. banyak sekali Pak Pres. Jelaslah saya terganggu Pak Pres. Kemanapun saya pergi, dimanapun saya berada, seringkali ada saja banyak orang ngedumel. Dengan demikian saya mengeluhkan hal itu. Itu tak nyaman bagi saya Pak Pres. Saya mersa jiwa cuek dan apatis saya lambat laun digerus oleh “common sense” kondisi kebanyakan warga bangsa ini. Dan kalaupun saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan, jelas saya kalah dengan mayoritas warga yang ngedumel dan membuat saya tak nyaman itu.
Pak Pres, tenang saja. Saya tidak faham bagaiman mekanisme tata kelola Negara ini, bagaimana roda perpolitikan berpengaruh pada tatanan pemerintahan bangsa ini. Jadi saya mungkin tak sepenuhnya mengalamatkan kesalahan mengapa banyak warga yang ngedumel ini murni tertuju hanya kepada Bapak. Sekali lagi saya tegaskan, saya tak menuduh Bapak penyebabnya, thok. Ini murni pengaduan saya, keluhan saya Pak Pres.
Mungkin cukup begitu saja Pak Pres. Oiya, mohon maaf Pak Pres, saya hampir lupa, tadi di alinea-alinea awal saya janji surat ini tak panjang-panjang, tapi ini keceplosan agak panjang. Sekali lagi, Maaf ya.
Akhir kata, walau bagaimanapun Bapak adalah Presiden Republik Indonesia, karena saya hidup di Indonesia dan meski belum jadi warganegara yang baik, walaupun juga (dulu) di saat cuek dan apatis saya sedang kambuh akut, saya kadang merasa sepertinya bukan Bapak yang jadi presiden bangsa ini, saya “lempeng-lempeng”saja, tapi saya berdoa lagi buat Bapak. Saya berdoa, semoga bapak mengemban amanah bangsa ini dengan sebaik-baiknya, dan semoga tidak banyak orang cuek apatis seperti saya berangsur berubah menjadi pendumel banyak bermunculan, yang bisa saja berubah menjadi pendumel yang lebih radikal, yang tanpa tedeng aling-aling dumelan, sentilan, dan kritikannya lebih “spektakuler”.
Wassalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H