Judul Buku : Rindu itu Koma
Sub Judul : Kisah Kecil Epilepsi
Penulis : Adhy M. Nuur
Penerbit : Nuur Indie Publishing
Jumlah Halaman : 318 Halaman
Meski tertulis Kisah Kecil Epilepsi dalam sub judul buku ini, kisah di dalamnya bukanlah kisah kecil. Tebalnya saja 318 halaman bahkan versi aslinya yang dimuat di Kompasiana.com bisa lebih daripada itu. Apalagi kisah ini menyuguhkan perjalan hidup seorang pengidap epilepsi bernama Koma. Sebuah perjalan hidup tentu tidak bisa disebut kecil, bukan?
Kisah tentang Koma dimulai sejak ia masih dalam kandungan. Awalnya mungkin pembaca akan dibuat bingung mengenai tokoh utama dalam kisah ini. Karena pada bagian awal, cerita terpusat pada sosok Asih, ibunya Koma yang pada saat itu masih menjadi seorang gadis muda yang lugu dan bersahaja. Hampir sepertiga bagian awal novel ini mengupas perjuangan Asih menjaga nyawa bayi dalam kandungannya dan bagaimana ia berjuang menyambung hidup bersama anak yang kemudian ia lahirkan tersebut. Cerita tentang Asih yang dihadirkan di awal ini benar-benar menyentuh. Seakan-akan Asihlah tokoh utama dalam buku ini.
Walaupun terasa agak sedikit kurang dari segi penggambaran cerita, namun keseluruhan novel ini dinarasikan dengan baik oleh penulisnya. Pemilihan alur maju, mungkin memang terkesan biasa saja, tetapi alur tersebut ternyata sangat membantu pembaca dalam memahami inti cerita yang kisahnya memang panjang dan berliku-liku.
Layaknya sebuah novel tentang perjalanan hidup manusia, tentu ada pasang surut dan perubahan-perubahan yang terjadi pada diri tokoh utamanya. Setiap episode yang dilalui Koma, dirangkum dalam 6 bab yang terdiri dari beberapa sub bab. Sub-sub bab inilah yang membuat 'materi berat' dalam novel ini bisa lebih mudah dicerna. Setiap penggalan cerita yang biasa disebut 'bab', dalam novel ini, digantikan dengan kata 'stadium'. Pertimbangannya mungkin karena kisah di dalamnya yang identik atau berkaitan erat dengan sebuah penyakit yaitu epilepsi. Maka, digunakanlah istilah medis tersebut. Dan, secara tidak langsung, ini menjadi suatu hal yang menarik dan menciptakan keunikan tersendiri.
Selain itu, keunikan atau keistimewaan novel ini terletak pada unsur tradisi yang terasa sekali baik dalam dialog maupun settingnya. Unsur tradisi dan budaya Sunda begitu melekat. Apalagi dibumbui pula dengan unsur kearifan lokal dan supranatural seperti yang tergambar pada sikap masyarakat dalam menyikapi 'keajaiban' diri Koma yang kemudian mengantarkan dirinya menjadi seorang 'dukun cilik'. Namun, sisi spiritual dan unsur religiuslah yang pada akhirnya berhasil menyelamatkan perjalanan hidup Koma sekaligus menyeimbangkan bumbu cerita ini sehingga menjadi sesuai dengan porsinya. Walaupun ada beberapa hal yang tidak terjelaskan secara logis, seperti keberuntungan yang secara ajaib hinggap dalam diri Koma kecil, hal tersebut seakan memang sengaja dibiarkan tanpa penjelasan dan dijadikan semacam 'pemanis' cerita. Dan, tanda tanya tak terjawab itulah yang menjadikan sosok Koma menjadi istimewa.
Dalam buku ini Koma mulai dikenalkan sejak ia dilahirkan hingga ia menjadi dewasa. Sejak ia dilingkupi keberuntungan hingga semuanya sirna dan berubah menjadi kemalangan. Sejak ia hidup bersama ibunya hingga ia sebatang kara. Sejak ia mengenal cahaya hingga diterpa kegelapan. Sejak kesulitan demi kesulitan ia lalui dengan ketegaran. Hingga pada akhir cerita ia menuai keberhasilan. Manisnya cinta, getir kehidupan, dan keajaiban tuhan, semua itulah yang membingkai perjalanan seorang lelaki sederhana bernama Koma yang kemudian terkenal dengan sebutan Ustadz Ayan.