Lihat ke Halaman Asli

Rindu Itu Koma : Kisah Kecil Epilepsi #Stadium 2 - Dua Puluh Sembilan

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Dua Puluh Sembilan

~ Bintang Benjang ~

Iringan tetabuhan kendang disahuti lengkingan terompet terdengar di kejauhan. Harmonisasi musik begitu dinamis. Kadang pelan merayap seolah bersiap melesat, lalu berubah cepat seakan menyongsong genderang perang. Koma terperanjat dari keasyikannya menangkapi belalang kecil. Ini kali pertama mendengar aneka rupa bunyi itu. Koma kecil terpancing mencari dimana sumber tetabuhan itu berasal.

Lepas dari pengawasan Asih, Koma beranjak menyusuri pematang sawah ke arah selatan. Dia masuk sebuah gang, mencari-cari sumber suara itu. Semakin berjalan, suara itu semakin menjauh. Sepertinya berasal dari arah barat. Koma masih sangat asing dengan daerah sekeliling tempat itu. Sangat jarang keluar jauh dari lingkungan rumah, dia serupa tahanan rumah yang tak luput dari pengawasan ketat. Koma berbelok masuk sebuah gang kecil, lebarnya hanya cukup untuk dua orang. Belasan langkah, liku lorong gang hanya mengantarkan Koma pada ujung gang yang buntu. Dia berputar kembali untuk menemukan belokan gang.

Belok kiri, Koma menemukan lorong gang tepat menerobos langsung ke jalan besar perkampungan. Di mulut gang nampak keramaian orang, tua muda, lelaki perempuan berkonvoi. Keluar dari gang, Koma semakin jelas menyaksikan iringan orang-orang memanjang puluhan meter. Di tengah barisan diisi sekelompok orang menabuh kendang dan dogdog begitu bersemangat. Di barisan depannya lagi, sekelompok lelaki gempita menunggang kuda mainan, badannya dari rotan diikat tali disampirkan ke pundak. Kepala kuda itu terbuat dari bilik bambu dengan rambut-rambut dari serabut ijuk. Diikuti dua orang memakai topeng, seperti penari barongan, meliuk-liuk mengikuti irama musik. Topeng kepalanya mirip gabungan singa dan naga, dipulas kombinasi warna merah tua dan hitam. Bagian bawahnya diselimuti karung goni.

Di barisan kedua dari paling depan, sekelompok lelaki menabuh aneka gendang dan gong. Seorang pria paruh baya dengan pipi kembang kempis meniup terompet. Dua orang lelaki memanggul kotak dengan menara menjulangkan corong pengeras suara di atasnya, sumber tenaganya didapat dari accumulator. Sesekali penyanyi wanita, sepertiga abad lebih usianya, melengkingkan cengkok lagu-lagu berbahasa Sunda. Sedangkan barisan terdepan, empat ekor kuda didandani berbagai aksesoris gagah berjingkrak-jingkrak menari ditunggangi bocah-bocah berpakaian dihias rumbai-rumbai warna mencolok.

Ritmis musik merayu Koma untuk bergabung, bergerak-gerak, menari, tapi masih tertahan dengan ketakjuban pemandangan yang baru pertama kali itu dia saksikan. Rombongan berbelok ke kanan, turun dari jalan landai menuju sebuah lapang cukup luas. Iring-iringan dan musik berhenti sejenak di lapang berumput carang, biasa digunakan warga bermain sepak bola. Para penabuh menurunkan kendang, gong dan beberapa alat tabuh lain dari panggulannya. Sebagian beristirahat dengan duduk, berjongkok, dan nampak berbincang. Koma memutar pandangan ke segala arah.

***

Seperempat jam kemudian, musik kembali ditabuh. Kerumunan orang melingkari separuh lapangan. Beberapa penari penunggang kuda kepang satu persatu masuk ke tengah lapangan, berlari-lari kecil berkeliling, disusul seorang lelaki berbaju kuning mencolok ramai dengan renda-renda, kedua tangannya menggenggam sepasang cambuk cukup panjang, dialah sang Malim. Beberapa kali putaran para penari penunggang kuda kepang itu mengitari arena.

Sang Malim komat-kamit melafal jampi, tak jelas apa yang dibacanya karena kalah oleh nyaring bunyi tetabuhan dan pekikan terompet. Satu persatu penari penunggang kuda kepang mendekat, sang malim membaca mantra dan meniupkan di ubun-ubunnya. Satu usapan di wajah, seketika penari penunggang kuda kepang bergulingan, kesurupan, menari-nari dengan gerakan tak beraturan, sesekali nampak jurus-jurus silat. Tiada gores ketakutan sedikit pun di wajah Koma yang berdiri di deretan terdepan, dia takjub menyaksikan.

Entah siapa yang menekan tombol kendali perubahan, sebuah energi menjalari Koma, membuat tubuhnya bergetar. Semakin lama getaran semakin terasa kuat. Pendengaran menangkap suara-suara aneh selain tetabuhan. Dia menangkupkan kedua telapak tangan di telinganya, menghindarkan pendengaran dari suara-suara aneh yang mengalahkan nyaring tetabuhan dan riuh penonton. Getaran tubuh terasa kian tak terkendali, Koma gelisah, tak nyaman berdiam diri. Cuaca cukup panas, tapi dingin terasa menyelusup rongga tulang, semakin kentara hingga membuatnya menggigil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline