Lihat ke Halaman Asli

Menyelami Pergulatan Demokrasi Melawan Otoriterianisme

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1418880433830550611

[caption id="attachment_360215" align="aligncenter" width="300" caption="Universitas Negeri Padang"][/caption]

Dalam literatur klasik Arab-Islam, kecenderungan berlebihan terhadap fikih adalah sebuah fenomena yang jamak dan lumrah. Gambaran ini jelas paralel dengan satu kenyataan bahwa matrik peradaban Arab-Islam adalah teks-teks liturgis keagamaan (al-nushûsh al-muqaddasat). Paling tidak, ini yang dipotret oleh pemikir muslim kontemporer kenamaan, Abid al-Jabiri dan Nashr Hamid Abu Zayd.

Lantas apa yang menarik untuk dijelitkan dalam tulisan ini? Kiranya, kini, dirasa perlu adanya sebuah upaya untuk menelisik lebih jauh nalar politik Arab-Islam klasik sebagai salah satu representasi bagi anasir pembentuk konstruksi nalar politik Arab-Islam kontemporer. Membincang nalar politik Arab-Islam niscaya akan mengantarkan kepada kita guna bersedia untuk "menjenguk" terma fiqh al-siyâsah. Artinya, mengangkat wacana fiqh al-siyâsah di sini bermaksud untuk membawanya ke altar kritisisme -jauh dari pemujaan terhadap turats- yang tidak lain merupakan awal dari rangkaian "gerbong panjang" kekuasaan, politik, agama dan cerita perselingkuhan di antara ketiganya dalam dunia Arab-Islam Klasik.

Menanjaknya tren "Khilâfah Islâmiyah" yang terus didengungkan oleh kalangan Islam fundamental di satu sisi dan penolakan terhadap sistem pemerintahan sekular yang berbasiskan masyarakat sipil dewasa ini yang terjadi dalam perbincangan tentang relasi agama dan negara adalah sebuah realitas yang harus disikapi secara cermat. Terlebih, tren ini dibarengi dengan meruyaknya romantika terhadap Khilafah Utsmaniyyah seraya mendendangkan irama-irama yang kental dengan nuansa Arabisme. Untuk itu, mendedahkan nalar politik Arab-Islam Klasik yang terbingkai dalam diskursus fiqh al-siyâsah secara utuh akan menjadi niscaya guna memahami posisi dan peranan politik, kekuasaan dan agama dengan tepat serta problem orisinalitasnya.

Arab-Islam Klasik dan Civil Society


Dalam bentangan sejarah peradaban Arab-Islam dan deretan literatur Islam Klasik, kiprah awal Islam dalam dunia politik akan selalu menunjuk Nabi sebagai pelaku utamanya. Posisinya sebagai titik pusat rujukan segala aktifitas sosial kemasyarakatan masyarakat muslim jelas memungkinkannya untuk memainkan banyak peran dalam berbagai lini kehidupan.

Sejarah menyatakan bahwa ada perbedaan yang signifikan dalam ajaran Islam antara 2 periode; periode

14188807341182960879

Makkah dan periode Madinah. Banyak sarjana muslim, baik sarjana klasik ataupun kontemporer menilai jika kesadaran berpolitik dalam dunia Arab-Islam Klasik bermula ketika Islam mulai diterima dengan baik di kota Madinah. Hal ini yang dengan serta merta dapat dengan mudah melahirkan sebuah kesimpulan bahwa praktek politik pertama kali yang berjalan secara resmi berada di periode Madinah. Bila dirunut, terlambatnya kemunculan benih-benih politik dalam Islam lebih banyak karena masih tersitanya konsentrasi Nabi ketika di Makkah untuk lebih menyebarkan agama Islam. Di samping prioritas Nabi ini terhadap dakwah, keterlambatan tumbuhnya nalar politik Arab-Islam juga dipengaruhi oleh adanya larangan dan keengganan Nabi untuk tercebur lebih dini dalam dunia politik-kekuasaan (Abdul Mu’thi Muhammad Bayumi, al-Islam wa al-Dawlah al-Madaniyyah, 2006; 14).

Di Makkah, Nabi begitu terbebani dengan tugas kenabiannya (dimensi spiritual keagamaan) sehingga wilayah politik-kekuasaan serasa terabaikan. Tampilan ini pun terlihat kontras dalambay’at al-‘aqabah yang kerap disalah pahami sebagai tonggak bagi lahirnya kesadaran berpolitik bagi kalangan Arab-Islam. Nihilnya nalar politik-kekuasaan pada periode Makkah atau pada masa sebelum Hijrah bukan berarti akan menempatkan periode Makkah sebagai sebuah periode yang hampa, melainkan secara riil, periode Mekkah ini merupakan gerbang bagi membanjirnya nalar politik-kekuasaan pada periode Madinah.

Secara historis, Islam Madinah adalah sebuah lahan subur bagi bersemainya nalar politik-kekuasaan Arab-Islam Klasik. Pada periode ini, Nabi tidak lagi disibukkan oleh perannya sebagai tokoh spiritual. Nabi –dalam masa ini- nampak lebih peduli dan concern terhadap konstruksi masyarakat; tidak lagi berputar-putar dalam ranah keagamaan. Di kota ini, umat Islam terlihat mulai mau untuk peduli terhadap bagaimana cara menyusun dan membangun kekuatan pertahanan serta mengimplementasikannya, bagaimana menciptakan tatanan yang berkeadilan dan konsep-konsep lainnya (Muhammad Jalal Syaraf, Nasy’at al-Fikr al-Siyâsi wa Tathawwurihi fi al-Islam; 2006, 23).

Keyakinan bahwa praktek politik Islam bermula dari kawasan Madinah terekam begitu kuat dalamSîrat ibn Hisyam-nya Ibn Ishaq, khususnya ketika menyoroti bay’at al-‘aqabah. Paling tidak, afirmasi dari Ibn Hisyam ini merupakan perwakilan dari sarjana muslim klasik yang menilai jika langkah-langkah politik Arab-Islam dimulai dari kota ini.

Jikalau memang benar anggapan yang yang menyatakan Arab-Islam mengawali langkah politiknya semasa di Madinah, lantas bagaimana sistem politik yang diterapkan oleh Nabi ketika itu? Apakah konsep "Khilâfah Islâmiyah" yang kini tengah nyaring dinyanyikan kembali ataukah sistem demokrasi dengan berkarakter Islam yang melahirkan masyarakat sipil yang peka dengan pluralitas dan humanitas?

Sedari awal, Nabi terlihat ingin berupaya menerapkan sebuah sistem demokrasi yang nantinya tidak berbeda jauh dengan konsep demokrasi yang kini tengah dijalankan. Bagi Nabi, sebuah sitem politik yang ideal harus menempatkan rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi kekuasaan. Nabi dengan praktek politiknya nampak ingin menegaskan jika Islam enggan untuk meniru konsep sistem politik peradaban masa silam seperti peradaban Yunani Kuno, Persia, Romawi dan Mesir Kuno. Konsep politik-kekuasaan yang dikenalkan Nabi bukanlah konsep politik teokrasi yang memposisikan pemegang otoritas tertinggi sebagai manifestasi tuhan. Islam pun tidak terjebak pada oligarki ataupun monarki.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline