Lihat ke Halaman Asli

Akhir Sebuah Permainan

Diperbarui: 12 November 2020   09:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://m.brilio.net/

Namaku Alissa Ashafara dan ini ceritaku. Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara dan orang-orang memanggilku Ara. Pada saat usiaku 8 tahun aku pindah rumah, namun tidak begitu jauh dari rumahku yang sebelumnya. Tidak banyak kenangan di tempat tinggalku sebelumnya. 

Yang ku ingat hanyalah pada saat perayaan ulang tahunku yang ke 5 tahun aku menangis karena tulang tangan kiri ku patah. Aku mencoba untuk menaiki sepeda milik sepupuku, namun aku terjatuh dan berakhir di tukang urut.

Perlu waktu untuk aku beradaptasi di tempat tinggal baruku. Seperti apa yang dikatakan oleh ibuku, bagai pinang dibelah dua aku memiliki sifat pemalu seperti ayahku sehingga sulit untuk mendapatkan teman.

Pada tahun 2008 aku memasuki taman kanak-kanak. Pada saat pertama kali aku masuk, guruku memintaku untuk melakukan tes golongan darah. Itu pertama kalinya aku periksa golongan darah. Pada tahun 2009 aku melanjutkan ke sekolah dasar. 

Sejak kecil Ibu dan Ayahku bekerja. Dan setiap pulang sekolah, aku membeli makan terlebih dahulu karena saat itu aku belum bisa memasak. Mulai saat aku kelas 5 SD, aku mengikuti seni bela diri pencak silat. Setiap selesai sholat isya, aku dan Ayahku pergi ke perguruan pencak silat dan berlatih hingga larut malam.

Aku pun mencoba mengikuti pertandingan seni bela diri pencak silat untuk pertama kalinya. Walaupun saat itu aku tidak menang, tapi aku sangat senang karena mempunyai pengalaman untuk tampil di depan banyak orang.

"Tadi Ara ikut pertandingan?" ujar Mira, dia adalah kakak dari ayahku. "Masa sih Ara mau ikut pertandingan itu?" sahut Sinta, sepupuku.

"Iya, Ara ikut pertandingan itu, tapi dia belum menang." Ayahku berkata sebagai jawaban atas pertanyaan yang diberikan oleh mereka. "Tidak apa-apa kalau belum menang, yang penting kan sudah punya pengalaman. Sudah merasakan bagaimana rasanya tampil di depan banyak orang," ujar Tuti.

Semua keluarga ku tidak ada yang menyangka aku berani tampil di depan banyak orang saat itu. Namun pada kenyataannya aku memang melakukannya.

Suatu hari, aku dan ayahku pulang ke rumah melewati sawah dibawah guyuran hujan yang deras. Saat itu aku berusaha turun ke hilir dengan tangga yang licin. Tiba-tiba terdengar suara petir tepat diatas kami. Ayahku langsung mengintruksi ku untuk bertiarap. Aku dan Ayah pun bersembunyi di balik semak-semak.

Setelah tamat pada tahun 2015, aku melanjutkan Sekolah Menengah Pertama. Pada awalnya aku susah beradaptasi karena setiap hari aku harus bangun lebih pagi dari biasanya. Aku juga terlibat aktif dalam ekstrakulikuler basket. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline