Keuangan yang inklusif mencerminkan tingkat kesejahteraan ekonomi disuatu negara. Inklusi keuangan didefinisikan sebagai kemampuan individu dan bisnis dalam mengakses produk maupun layanan keuangan yang mudah serta terjangkau.
Inklusi keuangan memainkan peran penting dalam perekonomian. Hal ini mengacu pada peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Tingkat inklusi keuangan yang tinggi memungkinkan masyarakat memanfaatkan secara optimal dari produk maupun layanan keuangan yang disediakan oleh lembaga keuangan.
Perkembangan inklusi keuangan menjadi pembahasan menarik sejak global financial crisis (GFC) yang terjadi pada tahun 2008 lalu. Ketidakmampuan spekulan dalam membaca kondisi ekonomi menyebabkan jatuhnya Lehman Brothers sebagai salah satu lembaga keuangan terbesar di Amerika. Risiko gagal bayar akibat terjadinya bank run pada saat itu mengakibatkan jatuhnya perekonomian global.
Mengacu pada pengalaman pahit di masalalu, inklusi keuangan sejak saat itu mendapatkan perhatian khusus dari pembuat kebijakan, utamanya bank sentral. Tingkat pemahaman yang rendah atas financial akan meningkatkan risiko sistemik yang berdampak pada kejatuhan ekonomi. Dengan kondisi tersebut, otoritas moneter secara pro-aktif terus berupaya dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan masyarakat.
Perkembangan Inklusi Keuangan di Indonesia
Indonesia menempati posisi tengah-tengah pada tingkat inklusi keuangan di Asia Tenggara. Jika dibandingkan dengan Kamboja, Laos, dan Filipina, inklusi keuangan di Indonesia masih lebih tinggi yakni hingga tahun 2024 telah mencapai 75,02 persen dengan tingkat literasi keuangan sebesar 65,4 persen.
Inklusi keuangan di Indonesia meningkat secara bertahap. Hal ini karena faktor multidimensi yang mempengaruhi prefrensi masyarakat terhadap layanan keuangan yang terintegrasi. Namun belakangan, inklusi keuangan di Indonesia telah mencerminkan perkembangan yang positif sejalan dengan meningkatnya akses teknologi digital.
Meski tantangan sosial-ekonomi masih mempengaruhi sebagian masyarakat yang unbanked, namun perkembangan infrastruktur yang mulai merata telah memberikan implikasi terhadap peningkatan inklusi keuangan di Indonesia. Ketersediaan fasilitas dan akses yang memadai memungkinkan kepercayaan masyarakat meningkat terhadap lembanga keuangan di Indonesia.
Pentingnya tingkat pemahaman individu maupun bisnis terhadap layanan keuangan karena pada gilirannya akan mempengaruhi sektor ekonomi riil. Dengan memiliki pemahaman yang cukup terkait dengan produk dan layanan keuangan, individu maupun bisnis akan mampu memanfaatkan secara optimal untuk meningkatkan taraf perekonomian mereka.
Keuangan yang inklusif memungkinkan peningkatan kredit modal dan kredit konsumsi yang disertai dengan penurunan not performing loan (NPL) atau risiko gagal bayar. Bank Indonesia mencatat pertumbuhan kredit pada tahun 2023 mencapai 10,4 persen yang mana diprediksikan akan terus tumbuh dengan proyeksi pertumbuhan kredit pada akhir 2024 mencapai 9-11 persen. Hal ini sejalan dengan penguatan kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM).
Menguatnya pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan keuangan juga dicerminkan melalui rendahnya NPL. Bank Indonesia mencatat NPL gross bank sebesar 2,26 persen pada Agustus 2024 dengan tingkat pertumbuhan kredit mencapai 10,85 persen. Kondisi ini mencerminkan pemahaman serta kehati-hatian lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit ke masyarakat untuk menjaga stabilitas ekonomi.