Lihat ke Halaman Asli

Arnoldus Ajung

Inspirasi Hidup

Refleksi Kritis atas Sikap Gereja terhadap Panggilan dan Perutusan Perempuan

Diperbarui: 18 Januari 2024   07:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber:https://heypasjon.com/perempuan-perempuan-murid-yesus/

Praksis perjuangan Gereja untuk menegakkan keadilan yang berwawasan  gender telah menunjukkan tanda-tanda yang signifikan. Walaupun di satu sisi masih tampak adanya keraguan dalam diri Gereja dalam memperlakukan perempuan sama dengan laki-laki. Namun di sisi lain, kebutuhan dan tuntutan jaman mendorong Gereja untuk bersuara, serta menyatakan sikap tegasnya terhadap ketidakadilan serta penindasan terhadap kaum perempuan yang terjadi dalam keluarga, dan masyarakat, termasuk dalam Gereja sendiri. Kini Gereja tidak bisa tinggal diam lagi atau pura-pura tidak melihat sebagian dari anggotanya, yakni kaum perempuan mengalami ketidakberdayaan serta ketidakadilan, Gereja hendaknya menciptakan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam tugas penggembalaannya.

Di satu sisi Gereja mendukung perjuangan kaum perempuan demi semakin memanusiawikan, baik perempuan maupun laki-laki, namun di lain pihak Gereja juga masih membatasi kedudukan perempuan dalam ajaran-ajaran dan cara pandangnya yang bias gender. Pengakuan Gereja terhadap peran penting perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan Gereja, serta dukungan untuk memperjuangkan kesetaraan gender tidak cukup hanya berupa himbauan atau ajakan, namun harus tampak dari praksis Gereja pengajaran dan kebijakan pastoral Gereja, terutama berkaitan dengan panggilan perempuan dalam Gereja jaman sekarang.

Pandangan dan sikap Gereja dapat menjadi sebuah referensi bagi pergerakan atau perjuangan para perempuan dalam menuntut haknya sebagai anggota Gereja dan masyarakat. Perlu diakui bahwa peran perempuan tidak tergantikan dalam segala aspek hidup, baik dalam keluarga, sosial maupun dalam relasi insani dan pemeliharaan orang lain. Demikian pula jika ditinjau dari kesederajatan harkat dan martabat perempuan dan laki-laki, kedua-duanya sama-sama diciptakan oleh Allah yang satu dan sama, serta memiliki citra yang sama dengan Allah, sehingga layak mendapat perlakukan yang sama di hadapan Allah dan sesama (bdk. Kej 1:26-27).

Tampaknya paham dan pandangan Gereja juga masih dipengaruhi antropologis patriarki, dimana fungsi reproduksi perempuan ditekankan, sedangkan fungsi reproduksi laki-laki sama sekali tidak ditekankan. Pandangan Gereja terhadap manusia yang dilatarbelakangi pandangan antropologis patriarki telah membuat perbedaan pandangan antara perempuan dan laki-laki mengenai "kodrat perempuan".

Perjuangan kaum perempuan mengenai kesetaraan gender, bukan berarti menolak perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun terutama adalah penghargaan terhadap keluhuran martabat manusia sebagai pribadi yang unik. Peran perempuan dalam karya perutusan Gereja hendaknya tidak hanya dibatasi pada dimensi keibuan yang masih menempatkan perempuan dalam ruang domestik atau dalam rumah tangga. Penekanan yang sangat keras pada sisi keibuan dari perempuan telah "menjebak" perempuan pada situasi dan kondisi yang problematis dan dilematis, bahkan tidak mudah mendapatkan jalan keluarnya.

Tampaknya Gereja belum memberikan perhatiannya pada relasi antara laki-laki dan perempuan sebagai mitra atau relasi yang sejajar, tetapi masih menempatkan laki-laki dan perempuan dalam relasi subordinatif. Relasi yang timpang antara laki-laki dan perempuan akhirnya menciptakan marginalisasi, dan stereotipe-stereotipe terhadap perempuan. Oleh sebab itu, relasi yang seharusnya terjadi antara laki-laki dan perempuan adalah "relasi saling", artinya relasi dua arah atau satu sama lain merasa sama-sama saling melengkapi, saling membutuhkan, saling menguatkan, saling meneguhkan, dan saling mendukung, bukan relasi satu arah, dimana yang satu merasa "lebih", lebih baik, lebih kuat, lebih suci, lebih tinggi, dan klaim-klaim "lebih" lainnya.

Gereja hendaknya menanggapi secara sungguh-sungguh dan nyata masalah perempuan, khususnya mengenai tuntutan kesetaraan gender. Pengakuan Gereja terhadap ketidakadilan yang telah dilestarikannya selama ini, tidaklah cukup tanpa pertobatan yang terus-menerus. Pertobatan ini harus terwujud dalam tindakan dan perbuatan sehari-hari, tidak sekadar kata-kata indah.

"Tempora mutatur et nos mutatur in illis"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline