Ada dua bincang ringan yang mendasari pemilihan judul tulisan ini, dan keduanya bersinggungan dengan kiprah Timnas Indonesia di Piala AFF 2020. Pertama, dialog dengan Pak Sidik, surveyor hebat di proyek pembangunan yang sekarang saya awasi.
"Mengapa ya Pak Arnold, kita itu punya ratusan juta penduduk tapi tidak bisa memilih 11 pemain yang dapat bermain cantik seperti Manchester City?" tanya Pak Sidik sambil asyik membidik titik elevasi bangunan melalui alat ukur, Total Station.
Saya yang sedang kepanasan karena terik matahari di Kota Kupang menjawab singkat "Saya tidak tahu Pak Sidik". Herannya, Pak Sidik tak melanjutkan maksud dari pertanyaannya itu dan juga tak mempermasalahkan jawaban saya yang terlalu pendek itu.
Tapi biarlah, saya memang tak mau serius menjawab pertanyaan yang terlalu sering ditanyakan itu, karena menurut saya ada ketidaktepatan berpikir soal itu.
Oh iya, ketidaktepatan berpikir itu berbeda ya dengan kegagalan berpikir. Bedanya dimana? Ah, saya lagi malas menjelaskannya.
Tapi mari kita simak dua hal konflik yang tersurat dari pertanyaan Pak Sidik ini. Pertama, bagaimana bisa membandingkan jumlah penduduk dengan prestasi timnas.
Lihat saja China, paling hebatkah mereka, dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia? Teknologi memang hebat, tapi sepak bola, tidak kan? Mungkin saja sedang tidak fokus di bola, begitu juga Indonesia yang memang mungkin sedang multi fokus.
Soal bermain cantik seperti Manchester City juga saya rasa tak adil. Memang ada yang bilang bermimpilah besar, tetapi soal timnas sepak bola kita janganlah. Jangan sakiti Shin Tae-yong dan Evan Dimas cs dengan beban berat karena mimpi atau fanatisme kita terhadap klub kesayangan kita.
Terkadang, kita itu memang tak logis. Pikiran kita kemana, problem timnas kemana. "Main cantik ala Pep Guardiola, kenapa tidak bisa tiki-taka seperti Barcelona dan lain sebagainya". Kalau timnas tidak bisa melakukan seperti yang kita mimpikan, kita menjadi frustrasi. Ya, salah sendiri.
Saya dulu juga begitu. Tapi sudah mulai berubah. Saya berusaha menikmati dan memberi kritik pada porsinya, tanpa bermimpi timnas menjadi seperti Manchester City, Liverpool dan Barcelona.